
Gajah alias liman, tercatat mengiringi peradaban-peradaban besar umat manusia. Kisah mamalia besar berbelalai ini tercatat dalam sejarah dunia dari Afrika sampai Nusantara.
Hewan dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea ini tercatat menjadi hewan penting bagi raja-raja Nusantara. Baik gajah maupun gadingnya, sama istimewanya.
Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga misalnya memakai balai-balai dari gading gajah. Ini disaksikan dan dicatat oleh bangsa China, utusan Dinasti Dinasti Tang (618-907) yang berkunjung ke sana. (Catatannya masuk ke Sejarah Lama Dinasti Tang Buku 197, yang dikemudian hari dikompilasi W. P. Groeneveldt menjadi buku Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources, 2018, hal. 16)
Di era Majapahit, gajah juga digambarkan sebagai salah satu harta kekayaan raja. Seperti yang digambarkan dalam Kakawin Nagarakertagama Pupuh 83:
“An manka kottaman sri-narapati siniwin tiktawilwekanatha,
saksat candren sarat kastawaniran agawe tustanin sarwwaloka,
lwir padma durjjana lwir kumuda sahana san sajjanasih teke twas
bhrtya mwan kosa len wahana gaja turagadinya himper samudra.
Demikianlah Sri Narapati yang didewakan di Kerajaan Majapahit itu,
nampak jelas bagaikan bulan di musim gugur menyebabkan rasa bahagia di seluruh dunia,
seperti bunga padma di tengah orang jahat, seperti bunga kumuda di antara orang bijak luhur,
abdi, juga harta, kereta, gajah, serta kuda begitu banyaknya bagaikan lautan.”
(Prapanca, 2019, hal. 266)
Di era kerajaan gajah juga menjadi mesin perang yang ditakuti lawan. Gajah terbukti kuat di medan perang dan mampu memporak porandakan pasukan infanteri maupun kavaleri.
Gajah juga menjadi tunggangan para raja untuk simbol kekuatan dan keagungan. Di zaman Majapahit, raja selain naik kereta yang ditarik sapi, juga mengendarai gajah. (Catatan Dinasti Ming. Yingya Shenglan (1416) dalam Groenveldt, 2018, hal. 53). Tak hanya raja, para permaisuri pun kerap menaiki gajah. Gajah para permaisuri ini dihias menggunakan vair (sejenis bulu). Tiap permaisuri dan selir diikuti oleh 30 perempuan yang berjalan kaki, berurutan sesuai derajat mereka (kesaksian Tome Pires orang Portugis yang berkunjung ke Majapahit yang kemudian mencatatnya dalam Suma Oriental, 2018, hal. 218-219).
Pemilihan gajah sebagai kendaraan para raja selain faktor keamanan, keluatan, kestabilan, atau faktor teknis lainnya, juga karena faktor kepercayaan. Para raja yang beragama Hindu percaya gajah merupakan kendaraan atau wahana dewa. Jadi para raja yang menunggangi gajah ini diagungkan layaknya Dewa Indra yang mengendarai gajah Airawata.
Hal tersebut terabadikan dalam Prasasti Kebon Kopi I di era Tarumanagara (358 M). Prasasti ini juga dikenal sebagai Prasasti Tapak Gajah, karena mengabadikan telapak kaki gajah tunggangan Raja Purnawarman yang disetarakan dengan Airawata tunggangan Dewa Indra.
Tak hanya di Pulau Jawa, di Pulau Sumatra para raja juga mengendarai gajah. Bahkan setelah Hindu bukan lagi menjadi kepercayaan masyarakatnya.
Misalnya Sultan Iskandar Muda di Aceh, dalam Hikayat Aceh, Sang Sultan digambarkan mahir menunggangi gajah dan kuda saat belia. Saat bertahta dia gemar mengadakan pertunjukan pertarungan gajah dengan gajah atau hewan lain. (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, 2020, Jilid I, hal. 212)
Di Jawa juga sama, saat kekuasan dipegang raja yang tidak lagi beragama Hindu, yaitu Mataram Islam, gajah tetap jadi tunggangan dan mendapat tempat istimewa. Bahkan kandang gajah berada di samping kiri dan kanan istana Sultan. Hal itu dicatat oleh orang Belanda H. Dee Haen yang mengunjungi Mataram tahun 1622.
Gajah-gajah tersebut diperoleh setelah Mataram menakhlukkan Tuban pada 1619. Saat itu Mataram membawa 10 gajah dari Tuban yang diletakkan dalam rumah di samping kediaman Sultan. Penguasa Tuban sendiri memang banyak memiliki gajah sebagaimana disaksikan orang Belanda yang berkunjung ke Tuban tahun 1599. (H.J. de Graff Puncak Kekuasaan Mataram, 2020, hal. 79)
Kegemaran Mataram atau Sultan Agung pada gajah membuat Palembang menghadiahkan tujuh ekor gajah saat mencoba mengambil hati penguasa Jawa itu. Saat itu Palembang yang dianggap kawula atau bawahan oleh Mataram, memohon bantuan untuk melawan Banten. Tercatat sebanyak tujuh ekor gajah dan hadiah lainnya, dikirimkan dari Palembang ke Mataram. (Graaf, 2020, hal. 423)
Hadiah gajah dari penguasa Sumatra ke penguasa Jawa, selama ini mendasari asumsi bahwa gajah di Jawa bukan hewan asli. Gajah di Jawa dikatakan berasal dari Sumatra atau India. Apalagi saat ini gajah sudah tidak ada di Jawa namun masih ada di Sumatra.
Faktanya gajah ada di Jawa bahkan dari era purba dengan bukti fosil, dan lain sebagainya. Peneliti Paules Edward Pieris Deraniyagala tahun 1953 menyatakan bahwa Gajah Jawa dengan nama ilmiah Elephas Maximus Sondaicus berbeda dengan Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatranus). (Lihat P.E.P. Deraniyagala,1955,Some Extinct Elephants: Their Relatives and the Two Living Species. Colombo: Ceylon Natural History Museum)
Bahkan meski di Pulau Jawa sudah tidak ada gajah, namun ternyata Gajah Jawa belum punah. Para ilmuwan di tahun 2003 menemukan bahwa gajah yang ada di Pulah Borno merupakan Gajah Jawa. (Kompas.com, 18 April 2008, Gajah Jawa Ditemukan Kembali, di Borneo. Diakses pada 15 Juli 2024 dari https://nasional.kompas.com/read/2008/04/18/08065839/~Sains~Konservasi)
Penelitian dengan tes DNA dan lain-lain itu dilakukan Columbia University dan WWF. Hasilnya menunjukkan bahwa gajah di Borneo berbeda dengan gajah di Sumatra dan gajah di Asia lainnya.
Maka dalam laporan penelitian berjudul Origins of the Elephants Elephas Maximus L of Borneo, yang diterbitkan dalam Sarawak Museum Journal menyimpulkan gajah di Borneo adalah Gajah Jawa. Apalagi tidak ada bukti arkeologis mengenai keberadaan gajah dalam jangka panjang di Pulau Borneo.
Hasil penelitian tersebut cocok dengan keyakinan turun temurun di masyarakat sekitar bahwa gajah yang ada di Borneo atau Pulau Kalimantan didatangkan dari Jawa oleh Sultan Sulu. Gajah-gajah ini kemudian berkembang biak dan hidup di hutan-hutan Borneo.
Kembali ke pengagungan atas gajah. Masyarakat Nusantara, dengan kepercayaan Hindu saat itu, tidak hanya mengagungkan gajah Airawata, tapi juga Ganesha. Ganesha yang berbadan manusia dengan empat tangan dan berkepala gajah adalah dewa pengetahuan dan kecerdasan.
Ganesha juga diyakini sebagai dewa pelindung dan penolak bala. Bahkan ada Mantra Ganesha yang dirapal untuk perlindungan, keberuntungan, dan kekuatan untuk menyingkirkan hambatan atau tolak bala. (Guntur Setyanto (2021). Nilai Didaktis Hulu Nusantara. Volume II. hal. 225)
Dalam pewayangan, Dewa Ganesha diadopsi jadi tokoh dewa yaitu Batara Ganesa atau Batara Gana. Wujudnya manusia berkepala gajah juga, namun tangannya hanya dua.
Batara Ganesa adalah putra Batara Guru atau Sang Hyang Manikmaya dengan Dewi Uma. Ia lahir atas keinginan Batara Guru yang menginginkan putra yang ahli pengetahuan dan pendidikan. Batara Narada yang kemudian bertugas dan berhasil mewujudkan keinginan itu.
Di cerita wayang tersebut, hadirnya Ganesa ternyata juga ada kaitannya dengan gajah tunggangan Dewa atau Batara Indra. Tapi di wayang namanya Erawana bukan Airawata.
Saat itu Batara Narada punya ide bahwa gajah memiliki daya ingat yang kuat dan volume otak yang besar itu akan sempurna jika digabung dengan otak manusia. Batara Narada lalu meminta Batara Indra diam-diam menuntun gajahnya di belakang Dewi Uma. Saat Dewi Uma menoleh kebelakang, sangat terkejut melihat gajah Batara Indra, lalu itu berpengaruh pada kehamilannya yang akhirnya melahirkan bayi berbadan manusia berkepala gajah. (Heru S. Sudjarwo, Sumari, & Undung Wiyono (2010). Rupa & Karakter Wayang Purwa. Jakarta: Kakilangit Kencana. hal. 110-111)
Ganesha sebagai simbol penguasa pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan, sekaligus kekuatan perlindungan, tolak bala, kemudian banyak disimbolkan serta di sematkan ke banyak elemen budaya Nusantara. Di keris, ornamen gajah sebagai penggambaran dari Ganesha juga banyak digunakan.
Misalnya pada bilah keris, ada tlale gajah atau belalai gajah. Ornamen di gandik keris ini kemudian di era Kerajaan Islam di Jawa diubah namanya menjadi kembang kacang, pengalihan nama ini untuk menggantikan gajah yang dari kepercayaan Hindu. (Karsten Sejr Jensen, 2007, Krisdisk. Chapter 1. Hal. 22). Namun lambe gajah (bibir gajah) masih tidak diubah namanya dan masih jadi salah satu rincikan keris.
Di hulu keris gajah yang melambangkan Ganesha banyak dipakai. Misanya di wilayah Kulonan (Barat Pulau Jawa) atau Pasundan, dikenal hulu atau Garan Gajahan. Garan Gajahan yang besar dan gagah banyak dipakai di wilayah Tegal, sementara yang lebih ramping namun tetap terlihat simbol gajah dari belalainya, ada di wilayah Cirebon.
Garan Gajahan ini juga disebut Garan Ganesha. Ini karena hulu tersebut merupakan stilisasi Dewa Ganesha di zaman Hindu. Besarnya bagian kepala di hulu tersebut juga merupakan simbol kecerdasan Ganesha.((Toni Junus, 2011, Pesona Hulu Keris, hal. 48))
Garan Gajahan di Tegal dan Cirebon ini masih bertahan meski kepercayaan sudah berganti dari Hindu ke Islam. Hanya bentuknya semakin diabstrakkan atau distilisasi. Tetapi gambaran gajah yang gagah, juga belalainya, masih terlihat jelas pada hulu-hulu itu.
Garan ini merekam kejeniusan leluhur kita dalam membuat hulu pusaka. Karena Garan Gajahan ini berhasil menampilkan wujud gajah atau Ganesha dengan stilisasi yang indah dan nilai seni yang tinggi, namun tetap tak meninggalkan fungsi utamanya sebagai hulu senjata pusaka. Penciptaaan hulu ini sangat memperhatikan ergonomi sehingga efektif sebagai hulu sejata tusuk dan nyaman digenggam.
Sampai hari ini, Garan Gajahan juga masih menjadi salah satu hulu keris yang paling dikenal atau ikonik. Garan Gajahan juga masih banyak dibuat dan dipakai untuk keris Kulonan atau Pasundan.
Garan Gajahan seolah merekam kisah gajah bersama sejarah raja-raja Nusantara untuk kita baca kembali hari ini. Maka jika gajah di Pulau Jawa sudah tidak ada, setidaknya rekamannya pada Garan Gajahan masih lestari hingga hari ini.