Malam telah menyelimuti Jakarta kala itu, namun suasana kota masih terang dan semarak oleh lampu-lampu kota. Di bawah sinar lampu tersebut, melaju sebuah motor Yamaha Scorpio hitam.
Jarum jam menunjukkan pukul 20:00 WIB, Mat Item, nama motor itu terus membawa penunggangnya menyusuri jalanan Jakarta meniggalkan halaman kantor yang berada di kawasan Tanjung Priok untuk pulang menuju rumah pemiliknya di daerah Pasar Minggu.
Gerimis tipis yang saat itu turun tidak begitu dipedulikan, Iman Arkan, sang pengendara Mat Item. Imam terus mengarahkan motornya menyusuri jalan Yos Sudarso. Malam itu lalu lintas masih ramai namun lancar.
Sesampainya di lampu merah perempatan Jl Pemuda – Pramuka, lampu lalu lintas menyala merah. Imam dan pengendara lainnya berhenti. Saat itu ada suara dari pembonceng motor di sebelah yang menyapa Imam.
“Pak, jalan ke Merak lewat mana ya?”
“Heh, ke Merak?” respon Imam, seakan tidak percaya, sambil memperhatikan si penanya yang ternyata seorang perempuan berperawakan agak gemuk.
“Iya pak ke Merak” katanya meyakinkan Imam.
“Wah masih jauh dari sini mbak – ya udah ikuti saya dulu deh nanti didepan saya jelasin” kata Iman.
Imam mengajak jalan karena lampu lalu lintas sudah menyala hijau tanda harus kembali jalan. Motor si gemuk ini pun mengikuti motor Imam membelok ke Jalan Pramuka. Diujung jalan mereka berhenti.
Lalu si gemuk ini turun sementara pengendara motor yang memboncengnya tetep menunggu di motor. Saat itu Imam lebih jelas memperhatikan lagi sosok perempuan itu. Badanya tidak terlalu tinggi, rata-rata tinggi perempuan Indonesia, perawakannya agak gemuk usianya mungkin belum 30 tahun.
Pakaian wanita itu sangat bersahaja. Dia hanya memakai celana jins potongan ¾ dan tubuhnya berbalut jaket atau sweater berpelindung kepala. Kakinya hanya beralaskan sandal dan kepalanya hanya berlindungkan helm half face.
Iman yang seorang Biker lantas menebak bahwa wanita itu bukan anak club motor yang sedang turing. Meskipun pertanyaan wanita itu sama seperti pertanyaan biker yang kesasar di kota yang asing.
Saat itu Imam belum yakin benar dengan apa yang didengarnya dari wanita itu. Dua orang sedang menuju Merak dengan sepeda motor malam-malam. Dia pun kemudian bertanya lagi pada wanita itu.
“Memangnya mau ke Merak ya mbak?”.
“Iya pak” jawab wanita itu.
“Ya udah kamu nanti dari sini lurus aja terus cari jalan yang arah Grogol, terus ke Tangerang” jawab Imam. “Kamu tau Grogol kan?”.
“Ndak Pak, saya ngak tau, saya baru nyampe dari Blitar” timpal wanita itu.
Imam makin kaget setelah mendengar pengendara itu dari Blitar Jawa Timur. Lalu Imam menanyakan apakah si pengendara yang memboncengkan tahu Grogol.
Dia menyangka bahwa si wanita gemuk ini orang Blitar dan diboncengin sama si rider yang orang Jakarta. Namun apa yang disangka Imam meleset. Rider tidak tahu karene keduanya sama-sama dari Blitar.
Yang lebih mengejutkan Imam, ternyata si rider juga wanita. Wajahnya tidak terlihat karena memake helm full face.
“Hah jadi kalian dari Blitar?…..trus tadi darimana?” Tanya Imam terkaget-kaget.
“Iya kami tadi dari Tanjung Priok mau nyari kapal ke Lampung, tapi nggak ada dan disarankan ke Merak aja” kata si wanita menjelaskan.
Jawaban wanita itu membuat Imam makin tak percaya. Dua orang wanita nekat dari Blitar mau ke Lampung mencari kapal ferry nya di Tanjung Priok. “Dapet info darimana dia – dan sekarang mau menuju ke merak…..luar biasa,” kata Imam dalam hati.
Akhirnya Imam paham bahwa dua wanita itu tersesat dan buta jalan ke arah tujuannya. Lalu dia member tahu dia wanita itu bahwa tujuannya masih jauh, sejauh sekitar 120 km dari tempat mereka.
“Sekarang jam 20.30 paling cepet si mbak sampe sana jam 12 malem. Gimana berani mbak?” tanyanya menjelaskan.
“Iya berani pak..” jawab si gemuk semangat.
Saat itu Imam berfikir, seandainya wanita itu jadi ragu-ragu untuk melanjutkan perjalanan, dia sudah siap menawarkan agar mereka mampir dulu di rumahnya untuk istirahat dan baru besoknya melanjutkan perjalanan.
Tapi karena mereka begitu ingin untuk melanjutkan perjalanan akhirnya Imam memutuskan untuk memandu mereka sampai ke Jalan Daan Mogot. Dia berfikir kalo dibiarkan jalan sendirian, bisa-bisa tidak keluar-keluar dari Jakarta, karena sama sekali tidak tahu jalan. Kalau dilepas di Daan Mogot, nanti mereka bisa tinggal lurus saja ke Tangerang dan lanjut ke Merak.
Setelah Imam siap mengantar, si wanita gemuk yang semula dibonceng, kini gantian mengambil alih stang kemudi. Lalu dengan lincah mereka mengikuti Imam dan Mat Item menerobos ramainya lalu lintas malam itu.
Cuaca Jakararta sedang tak menentu. Malam itu hujan mengguyur. Mereka kemudian berhenti dulu untuk mengenakan jas hujan. Saat berhenti, Imam memperhatikan kembali dua wanita yang ditolongnya. Dia semakin yakin mereka bukan anak club motor. Sebab ketika diperhatikan motornya Suzuki Smash (no pol AG4854KB) spionnya hanya ada sebelah – yang kanan saja, jas hujan yang dipakai ponco ini pun cuma satu buah. Kalo anak club motor yang sedang turing pastinya kelengkapan motor kumplit, plus jas hujan tipe dua pieces bukan ponco.
Saat itu Imam juga baru sempet bertanya nama mereka. Si gemuk ternyata bernama Tata, sementara temannya yang bertubuh langsing dan lebih tinggi ber nama Novi. Imam bertanya kapan mereka berangkat dari Blitar, dan mereka menjawab kemarin malam. Mereka mengendarai motor secara bergantian.
Iman langsung terkesan dengan betapa beraninya dua wanita itu. Imam yang seorang biker dan suka turing ke berbagai daerah langsung merasa jadi Biker Cupu di depan mereka. Seolah turing-turing yang pernah dilakononya semuanya gak ada apa-apanya.
Sebab, sebelum turing Imam selalu mempersiapkan diri dengan matang. Cari info di internet dulu, liat petanya, kalo rutenya belum dikenal pasti dilalui siang hari dan sebagainya.
Sedangkan mereka ini jalan malam dari Blitar ke Jakarta sendirian. Mereka juga jalan malam dan mau ke Lampung dari Jakarta tanpa membawa peta. Imam kemudian berfikir mereka benar-benar biker pemberani meski wanita.
Jika dibandingkan dengan anak club motor yang turing, mereka sangat berani. Biasanya anak motor kalau turing jalan rame-rame, bawa peta, bawa gps plus pake rakom (radio komunikasi). Bukan itu saja, di tiap kota yang dituju disambut dan diantar club lokal setempat.
Dalam hati imam kagum dan angkat topi bagi mereka. Meski tidak tahu dan enggan mengenathui motif apa atau keperluan apa yang menyebabkan mereka senekat itu, dia hanya bisa berdoa semoga Allah memberi kemudahan dan keselamatan kepada mereka.
Lalu perjalanan pun dilanjutkan, menyusuri aspal Jakarta di malam yang semakin larut. Di Jalan Daan Mogot, mereka kemudian berhenti. Imam lalu memberi briefing terakhir. Mereka kemudian mengucapkan terima kasih dan langsung lanjutkan perjalanan.
Mereka lalu berpisah. Imam dan Mat Item berputar di putaran pertama yang dijumpai untuk kembali menuju ke rumahnya. Di sana keluarganya sudah menunggu bapak yang baik hati ini pulang setelah seharian bekerja.
Kisah Imam mungkin tergolong langka dijumpai di kota seperti Jakarta. Mungkin sebagain orang juga tak habis pikir mengapa orang sesibuk Imam masih mau meluangkan waktunya mengantar orang nekat.
Tetapi dari kisah Imam ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa masih tersisa orang baik di Jakarta. Meski anda lebih sering menjuampai sebaliknya, tetap yakinlah bahwa masih ada sisa orang baik di Jakarta yang suatu saat pasti datang saat anda butuh pertolongan.