Kuda adalah salah satu hewan yang sering, atau bahkan paling banyak muncul di budaya Madura, khususnya seni kriya. Dari patung, lambang kerajaan, sampai ornamen ukiran.
Ornamen kuda dalam seni kriya Madura juga kerap kita jumpai di keris. Kuda sering muncul di ukiran perabot keris Madura baik hulu maupun warangkanya.
Bentuk kudanya ada yang seperti lazimnya kuda atau kuda biasa, ada pula yang bentuknya kuda dengan sayap di punggungnya. Kuda yang terakhir ini di Nusantara sering disebut Kuda Sembrani atau Kuda Pegasus kalau di luar negeri.
Ornamen kuda tersebut jarang ditemukan di keris daerah lainnya. Tidak seperti ornamen hewan lain misal naga, gajah atau burung.
Hal itu menunjukkan bahwa kuda memiliki posisi yang penting dan dihormati dalam masyarakat atau budaya Madura. Padahal kuda bukan hewan asli Madura. Berbeda dengan Burung Kakatua atau Bukong yang pernah saya bahas di tulisan sebelumnya.
Lalu bagaimana mulanya Kuda Madura ini memiliki tempat istimewa? Itu semua bermula dari kisah pahlawan atau tokoh terbesar Madura yaitu Jokotole.
Jokotole atau kadang ditulis Joko Thole, adalah Raja Sumenep yang hidup di fase akhir Kerajaan Majapahit. Diperkirakan lahir tahun 1415 dan wafat pada 1460.
Menurut Babad Songenep Jokotole merupakan anak dari putri Raja Sumenep Pengeran Secadiningrat yaitu Raden Ayu Potre Koneng. Putri ini kemudian hamil di luar nikah akibat tertidur saat bertapa dan bermimpin bertemu pemuda tampan Adipoday.
Karena itu bayi Jokotole setelah lahir kemudian dibuang ke hutan. Bayi ini lalu ditemukan dan dipungut oleh Mpu Kelleng dan menjalani hidup seperti rakyat biasa.
Nama Jokotole baru melejit saat dia menyusul Mpu Kelleng ke Majapahit dan membantu membangun pagar dan pintu raksasa di Kerajaan Majapahit. Saat itu semua orang gagal menyatukan pintu besi dan hanya Jokotole dengan kesaktiannya yang bisa.
Di Majapahit, Jokotole juga semakin dikagumi setelah dia berhasil menjinakkan kuda Raja Brawijaya. Saat itu Kuda Sembrani (di Babad ditulis Sambrane) milik Raja Brawijaya mengamuk dan tak ada yang berani mendekatinya. Sebab setiap yang mendekat akan digigit dan mati.
Lalu datang Jokotole membantu menjinakkan. Saat dia datang kuda itu langsung berlutut dan menjadi jinak. Jokotole kemudian menaiki kuda itu, diajak berkeliling, lalu diserahkan kembali pada raja.
Atas jasanya Jokotole kemudian diangkat menjadi patih muda dengan gelar Kudapanole. Dia juga diberi hadiah rantai belang, payung biru pinggirnya kuning, empat buah tombak, dan membawahi enam desa.
Ada dua versi soal cerita kuda Raja Brawijaya ini. Versi pertama kuda biasa cuma namanya Sembrani, versi kedua kuda dengan sayap yang dikenal sebagai Kuda Sembrani atau Pegasus.
Maka dalam ukiran Kuda Madura, dua versi itu juga ada. Ada kuda dengan wujud kuda biasa, ada pula kuda dengan wujud memiliki dua sayap.
Versi kuda bersayap adalah versi yang paling banyak atau paling utama. Bahkan digunakan sebagai lambang Keraton Sumenep besanding dengan Kuda Laut Bersayap, mengapit perisai yang ada gambar baju zirah ksatria Eropa yang di atasnya ada mahkota ala raja Eropa.
Kuda bersayap ini kemungkinan juga terkait cerita kuda Jokotole yang bisa terbang. Di Babad Songenep, Jokotole yang setelah jadi Raja Sumenep bergelar Pangeran Secadiningrat II, akhirnya bertemu ayahnya dan mendapat hadiah berupa cemeti sakti dan Kuda Megaremmeng.
Megaremmeng adalah kuda berbulu hitam dan bisa menghilang serta terbang. Kuda ini kemudian dipakai Jokotole untuk mengalahkan Raja Dempo Awang dari Kelleng.
Dempo Awang datang menyerang raja-raja Nusantara dengan perahu terbangnya. Banyak raja dikalahkannya. Namun tidak dengan Jokotole. Perahu terbang Dempo Awang kemudian hancur oleh cemeti Jokotole yang disabetkan sambil mengendarai kuda terbang.
Itulah kisah Jokotole dan kudanya yang tertulis di Babad Songenep atau Babad Sumenep. Babad ini disusun dan diahlih aksara oleh Raden Werdisastra tahun 1914 bersama Raden Sastrawijoyo. Mereka menyusun dari naskah Babad Songenep kuno dan dongeng atau cerita orang Sumenep yang bisa dipercaya serta aturan negeri pada zaman kuno.
Seperti halnya babad lainnya atau babad di daerah lain, kita harus membacanya secara kritis. Sebab selain bercampur dengan mitos, perlambang, dan lainnya, juga terkadang tidak akurat jika disandingkan dengan catatan sejarah.
Misalnya di dalam Babad Songenep Jokotole berinteraksi dengan Brawijaya dan patihnya Gajah Mada. Jika kita lihat catatan sejarah, Jokotole hidup pada 1415 – 1460 sedangkan Brawijaya 1474 – 1498, dan Gajah Mada 1290 – 1364.
Di sana Gajah Mada juga digambarkan sangat lemah, bersifat buruk, licik, dan jahat. Sebuah penggambaran yang berbeda dengan sumber-sumber lain. Penggambaran antoagonis seperti itu lazim di sebuah babad ketika menulis musuh atau tokoh yang dibenci.
Namun terlepas dari itu, dari Babad Songenep ini kita jadi tahu asal muda Kuda Madura. Mengapa dia penting dan senantiasa hadir di dalam ornamen pada seni kriyanya, termasuk warangka keris Madura.
Semoga bisa menjawab tanya dari mana asal Kuda Madura di hulu dan warangka Keris Madura.