Lari Si Jabulani

foto: goal.com

Dia adalah pusat perhatian di Piala Dunia. Dia selalu diincar dan dikejar-kejar. Jika selama ini orang mengejar-ngejar pemain bola dunia, dia justru yang dikejar-kejar oleh pemaian-pemain itu. Pawakannya bulat, klimis, agak keras, namun manis. Kamera pun tak pernah absen menyorotnya.

Pemain bintang boleh absen karena cidera atau lainnya, tapi dia tidak boleh absen di setiap pertandingan. Tanpa dia, tak ada pertandingan Piala Dunia. Keberadaannya menentukan siapa yang akan angkat koper dan siapa yang akan mengangkat piala emas. Dialah Jabulani, si bola resmi Piala Dunia.

Jabulani adalah bola yang diproduksi oleh Adidas. Nama Jabulani sendiri diambil dari bahasa lokal yaitu bahasa IsiZuli yang berarti “untuk merayakan” atau to celebrate. Hanya Si Jabulani satu-satunya bola yang boleh beredar di lapangan hijau Afrika Selatan (Afsel) selama perhelatan Piala Dunia. Maka sebulan penuh mata warga dunia akan melihat lari Si Jabulani.

Bola ini dibuat dengan teknologi canggih. Produsennya menyebut teknologi yang digunakan adalah teknologi revolusioner ‘Grip’n’Groove’. Teknologi ini membuat bola tercakup dalam alur aero kecil. Inilah yang konon membuat bola ini menjadi yang paling stabil dan paling akurat. Paling tidak di antara bola buatan Adidas lainnya. Bahkan Adidas juga mengklaim Jabulani adalah bola terbulat yang pernah dibuat.

Untuk menguji Si Jabulani juga memakai teknologi canggih. Sebuah robot kaki bernama Dave ditugasi menguji bola resmi itu dengan menendangnya. Nama Dave diambil dari mahasiswa tingkat tiga Loughborough University, Inggris Dave Ward, yang mendesainnya sekitar empat tahun lalu. Robot setinggi 1,22 meter tersebut membantu menguji dan menentukan perbaikan dan penyempurnaan Jabulani.

Sedangkan secara desain, Jabulani didesain futuristik dan menggunakan 11 warna. Sebelas warna ini menunjukkan filosofi angka 11 yang erat dengan sepak bola dan Afsel. Angka 11 mencerminkan jumlah pemain dalam setiap tim sepak bola yang turun di lapangan. Selain itu angka 11 juga menunjukkan 11 suku dan bahasa resmi Afsel. Dari 11 bahasa itu, bahsa IsiZulu paling banyak digunakan yaitu digunakan (25%).

foto: goal.com

Lalu apa pendapat para pemaian tentang Jabulani? Pendapat mereka yang mengarahkan sekeligus mengejar lari Jabulani ini beragam. Ada yang suka, ada yang tidak. Ada yang menilai sangat bagus, namun ada pula yang menilai Jabulani bola terjelek yang pernah ada.

Bagi tim yang menilai Jabulani sebagai malapetaka, banyak sekali alasannya. Mereka manila Jabulai terlalu ringan dan gerakan lengkungnya susah diprediksi. Kiper adalah pihak yang paling keras menyuarakan ketidakpuasannya.

Sebut saja Kiper Prancis Hugo Loris, Kiper Brazil Julio Cesar, Kiper Spanyol Iker Casillas, Kiper Italia Gianluigi Buffon, Kiper Uruguay Fernando Muslera, dan Kiper Inggris David James, rame-rame mengecam Si Jabulani. Mereka melabeli negative bola ini mulai dari mengerikan, menakutkan, bola terbutuk yang pernah ada, sampai menyebutnya sebagai bola kelas supermarket. Kisah Kiper Inggris Robert Green yang gagal memegang bola pelan yang berbuah gol konyol di gawangnya mungkin menambah motivasi menyalahkan si Jabulani,

Para penyerang juga menilai bola ini susah diprediksi gerakannya. Para pelatih juga mengungkapkan hal yang sama. Namun kadangkala penilaian ini diungkapkan setelah mereka kalah dalam pertandingan. Misalnya Pelatih Denmark Morten Olsen yang ikutan mengeluhkan Jabulani setelah timnya kalah 1-0 dalam uji coba melawan Australia.

Namun bagi pemain atau tim lainnya, Jabulai justru sebuah berkah. Kiper Chelsea dan timnas Ceko Petr Cech justru memuji Jabulani. Dia mengatakan bola itu benar-benar bisa dirasakan kekuatannya. Suaranya disebut seperti suara tembakan. Kapten Jerman dan gelandang Chelsea Michael Ballack juga berpendapat bahwa Jabulani adalah bola terbaik. Dia menilai bola itu fantastis dan sesuai yang diinginkannya.

Kesukaan Jerman dengan Si Jabulani dinilai karena negara itu terbiasa dengan bola Adidas. Mengingat Adidas memfasilitasi Bundesliga Jerman, sedangkan negara lain ada yang memakai merek lain. Maka kemudian ada juga yang menuduh Jabulani hanya akan menguntungkan tim-tim yang terbiasa dengan bola Adidas.

Soal bola Piala Dunia, Jabulani bukan yang pertama menuai kritik. Fevernova, yang digunakan pada 2002, dikritik karena dianggap terlalu ringan dan sangat mudah memantul. Demikian pula halnya dengan Teamgeist yang digunakan pada Piala Dunia 2006, justru dianggap terlalu berat dan dinilai hanya menguntungkan para penyerang.

Maka Juru Bicara Adidas Thomas van Schaik santai saja menghadapi kritikan atas bolanya. Dia mengingatkan sejarah kritik yang sama atas bola lain di Piala Dunia. Menurut dia pihaknya membuat Jabulani dengan harapan agar makin banyak gol di Piala Dunia. Dia mengatakan kritik biasanya akan reda saat banyak gol tercipta dan penyelamatan bisa dilakukan.

Bagi saya penonton bola, keluhan atas Jabulani itu lagu lama yang biasa dinyanyikan pemian bola. Apalagi kalau timnya kalah. Biasanya jika tidak menyalahkan wasit, yang dinilai tidak adil, mereka akan menyalahkan bola atau lapangan. Dalam pertandingan olah raga lainnya juga kerap ada keluhan yang sama. Misalnya di bulu tangkis ada keluhan shuttle cock tidak baik, lintasan yang buruk dalam balapan, dan lain sebagainya.

Jadi bagi para pemian di Piala Dunia, berhentilah mengeluh. Pemain yang baik adalah yang bisa menaklukkan bola, bukan mengeluhkannya. Karena bagaimanapun keluhan anda Si Jabulani akan tetap ada dan berlari di Piala Dunia kali ini. Hanya ada dua pilihan, larinya ke gawang lawan, atau gawang anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published.