Hari itu saya sangat terburu-buru. Saya harus berpacu dengan waktu. Ada acara mendadak yang harus saya datangi di daerah Proklamasi, padahal saya masih di daerah Slipi, dan waktu yang tersisa sampai mulainya acara hanya beberapa menit saja.
Saya memang harus buru-buru, bersama teman saya seorang fotografer, saya kemudian cepat-cepat menuju parkiran. Kita ambil motor masing-masing dan langsung keluar gedung menyusuri Jalan Gatot Seoebroto.
Sampai lampu merah saya dan teman saya kemudian berpisah. Kita mengambil jalan yang berbeda, maklum tak ada komunikasi selama berkendara. Saya memilih jalan melalui Tanah Abang, lalu nyambung di Kebon Sirih.
Di perjalanan tidak hanya jam yang saya perhatikan. Saya juga sesekali melihat langit Jakarta, yang di musim hujan ini suka memuntahkan air secara tiba-tiba. Maklum pengendara roda dua seperti saya ini “anti air”, artinya kalangkabut jika kena hujan, beda dengan mobil atau bajaj yang ada atapnya.
Benar saja, langit Jakarta kala itu terlihat mendung. Warnanya tampak abu-abu kehitaman. Cuaca ini membuat siang hari sudah terlihat seperti sore hari. Saya makin khwatir, khwatir hujan turun dan saya bisa tidak sampai tempat tepat waktu.
Belum lama terpikir, apa yang saya pikirkan itu menjadi kenyataan. Di kawasan Menteng, hujan turun seketika tanpa permisi. Makin lama hujannya makin lebat saja. Saya terpaksa harus menghentikan laju kendaraan dan menepi untuk memakai jas hujan.
Jas hujan sudah melindungi badan, maka saatnya melanjutkan perjalanan. Tak banyak waktu, jadi harus buru-buru. Meski begitu tetap hati-hati karena dengan derasnya hujan jalanan jadi tak bersahabat, licin dan siap menjatuhkan pengendara roda dua yang teledor.
Saya sampai di daerah Manggarai, hujan masih turun walau tak lagi lebat. Meski mencoba hati-hati, sial bagi saya. Ketika melintasi rel kereta api, saya terjatuh. Saya lupa, bahwa di saat hujan, rel kereta sangat licin, dan ban Bridgestone Battlax saya kehilangan kesaktiannya, lalu brukk.. saya jatuh bersama motor Yamaha Scorpio saya.
Saya beruntung tak jatuh dengan keras. Lalu saya mencoba mendirikan motor saya, namun kesulitan. Mungkin karena kaget atau licin tempat berpijak saya. Beberapa kali saya kepleset saat mencoba mendirikan motor.
Banyak orang di pinggiran tempat saya jatuh. Sempat terpikir mereka akan menolong. Aha, saya salah. Karena tak satu pun di antara mereka yang tergerak menolong. Mereka hanya melihat-lihat saja.
Alhamdulillah, saya tidak apa-apa dan setelah kekuatan saya pulih, saya bisa mendirikan motor saya yang memang berat. Saya bersykur juga tak ada cidera berarti dan lecet baik di badan saya maupun tunggangan saya. Hanya handle rem depan saya saja yang bengkok sedikit. Sisanya tak apa-apa, dan saya pun bisa melanjutkan perjalanan.
Di perjalanan, saya masih terus diganggu oleh pikiran saya sendiri. Mengapa orang-orang tadi tak satupun yang menolong. Bagitukah sikap orang-orang kota? Saya sering dengar, tapi saya tidak percaya orang kota tak punya jiwa penolong. Atau kebaikan mereka luntur jika kena air hujan?
Akhirnya saya sampai di tempat tujuan dan tidak ketinggalan acara. Saya hanya basah di sana-sini saja. Tentang orang-orang tadi, saya memilih berbaik sangka saja. Mungkin karena tadi hujan, jadi mereka mengurungkan niat menolong. Maaf…Sedang Hujan, itu mungkin yang dikatakan mereka dalam hati saat melihat saya jatuh.
Berbaik sangka saja. Toh saya sudah ditolong Allah, dengan tidak mengalami cidera dan bisa kembali melanjutkan perjalanan.
apalagi kalo macet di tol mas tidak kalah pilunya he2…mohon ijin saya taut dgn blog saya ya? tq
iya mbak..kemaren sodara saya mogok di tol juga gak ada yg nolong ampe nyaris pagi dari tengah malem..
silahkan mbak..