
Salah satu mahluk yang sering muncul di hulu pusaka adalah Makara. Dia ada di hulu Keris Kulonan atau Pasundan (seperti Tegal dan Cirebon), Gobang Sunda, Pedang Palembang, Pedang Lombok (baik Kelewang maupun Berang), sampai Pedang Pattani.
Makara adalah mahluk mitologi Hindu yang merupakan wahana atau kendaraan dari Dewa Baruna, sang penguasa samudra. Juga dikenal sebagai wahana dari Dewi Gangga, sang penguasa sungai di India.
Makara sering digambarkan menyerupai buaya. Karena dalam Bahasa Sansekerta, Makara artinya adalah mahluk laut atau buaya. Makara juga jadi akar bahasa Hindi modern untuk buaya yaitu: Magar.
Banyak kajian yang mengatakan inspirasi awal Makara adalah buaya. Lalu seiring waktu menjadi lebih rumit dan dicampur (hybrid) dengan hewan-hewan lainnya, hingga menjadi sebuah hewan hibrida legendaris seperti wujudnya yang dikenal sekarang (Steven Darian (1976). The Other Face of the Makara. Dalam Atibus Asiae. 38 (1). Hal. 29).
Menurut Darian, awalnya sosok Makara yang seperti buaya dengan mulut atas yang panjang dan mendongak lebar ke atas ini, di pasang di perahu-perahu orang Lembah Indus. Tujuannya sebagai jimat perlindungan atas serangan buaya di sungai, serta bahaya di lautan.
Penggambaran Makara seperti buaya dengan mulut terbuka ini juga dipasang dan menghiasi kuil atau candi-candi di India. Meski ada juga yang bentuknya seperti gabungan ikan dengan kepala berbelali seperti gajah.
Masuknya Hindu ke Nusantara juga membawa serta Makara. Di candi-candi peninggalan Hindu banyak dijumpai ornamen Makara yang digambarkan sebagai gabungan ikan, gajah, dan buaya. Mulut atasnya adalah belalai gajah namun memiliki gigi tajam seperti buaya, dan badannya badan ikan. Karenanya ada juga yang menyebut Makara sebagai Gajah Mina (gajah ikan).
Di candi-candi Jawa baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah, Makara yang ada di lidah tangga bagian bawah, di pasangkan dengan Kala yang ada di atas pintu atau gerbang. Dari sini muncul istilah Kala Makara.
Makara juga sering digunakan sebagai ornamen untuk talang di Candi, pancuran air, dan lainnya yang terkait aliran air. Ini sesuai dengan mitos Makara itu sendiri yang dipercaya sebagai simbol penguasa sungai, samudra, dan segala hal terkait perairan lainnya.
Maka tak aneh pula ketika Makara ini banyak ditemukan jadi ornamen daerah pesisir pantai atau kawasan dekat sungai besar. Misalnya di Palembang, dia muncul di hulu pedang, di kawasan pelabuhan atau bahari seperti Cirebon dan Tegal, dia muncul di hulu keris.
Contohnya hulu keris Makara di foto. Hulu seperti itu banyak ditemukan di daerah Tegal. Daerah yang dikenal sebagai Kota Bahari.
Pada awal abad ke-16, Tegal yang pemukimannya terletak di sepajang pantai, memiliki pelabuhan dan jalur sungai, di mana para pedagang berinteraksi. Hal ini dicatat oleh Tome Pires dalam “Suma Oriental” (hal. 225).
Tegal dahulu kala banyak disinggahi dan dihuni para pedagang Hindu. Tegal, meski di kemudian hari selalu menjadi wilayah penguasa di Jawa Tengah, sebelumnya merupakan wilayah kerajaan-kerajaan Pasundan, misalnya Kerajaan Galuh Lama, dengan wilayah meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, sampai Purwodadi (Guntur Setyanto (2021). Nilai Didaktis Hulu Nusantara. Volume II. hal. 248).
Dari kepercayaan Hindu di Tegal inilah kemudian Makara dikenal dan dipakai sebagai hulu keris. Kemudian stilisasinya juga mengikuti budaya Pasundan yang sempat lama berkuasa di sana.
Budaya Pasundan Hindu tetap lestari karena saat Cirebon yang sudah berkepercayaan Islam menakhlukkan Pajajaran Hindu, memilih tidak menghapus pengaruh budaya Hindu. Budaya tinggalan Hindu masih kental dan dipertahankan. Selain Makara, Hulu Buto atau Yaksa juga termasuk bagian dari hal yang dipertahankan tersebut (Karsten Sejr Jensen (2007). Krisdisk: Krisses from Indonesia, Malaysia, and the Philippines. Chapter 4. Hal. 2).
Makara pada hulu pusaka seperti hulu keris di Tegal jelas difungsikan sebagai fungsi Makara pada kebudayaan aslinya; yaitu penolak balak atau perlindungan dan keberuntungan. Jika dahulu orang di India memasang pada perahu atau kapal untuk perlindungan saat mengarungi sungai dan laut, hal yang sama juga dilakukan orang Tegal namun diletakkan pada hulu pusakanya.
Makara Tegal ini uniknya berbadan Buto, tidak berbadan ikan seperti Makara biasanya. Ini mungkin karena perbaduan dengan Hulu Buto yang juga banyak di daerah tersebut dan menurut Jensen itu merupakan pengaruh dari Hulu Buto Banten.
Mungkin juga perpaduan dengan Kala yang bentuknya juga Buto. Seperti konsep Kala Makara di Candi. Makanya Hulu Makara Tegal ini sering juga disebut Hulu Kala Makara.
Selain makna dan tuahnya, Makara di hulu pusaka rupanya juga terkait fungsi teknis. Bentuk hulu senjata tajam Nusantara banyak yang bentuk dasarnya melengkung seperti huru J atau L. Bentuk ini memang lebih enak dan mantab digenggam.
Untuk menghias bentuk itu, tentu saja bentuk Makara yang sesuai. Apalagi dengan bentuk belalainya yang melengkung dan cocok sekali menjadi hiasan di sana.
Maka tak heran jika banyak senjata atau hulu pusaka yang memakai Makara. Juga figur yang serupa yang memiliki hidung panjang dan melengkung, misanya Figur Rajamala.
Hulu Rajamala sendiri juga banyak ditemukan di Tegal dan daerah Pasundan. Selain juga banyak digunakan di Jawa, bahkan sampai berpengaruh ke Sumatra dan Semenanjung.
Demikianlah sedikit wawasan tentang Hulu Makara yang ada di pusaka Nusantara. Semoga bisa menggugah minat kita semua untuk melestarikannya.
Hulu di foto merupakan Hulu Makara karya Abah Ghani, Mranggi Hulu Pasundan yang tinggal di Bandung. Senang sekali dari hulu karya beliau ini jadi tahu bahwa hulu ini masih lestari dan senang juga bisa turut mensuport keberlangsungan atau kelestariannya.