Untuk memahami keris, maka kita perlu mempelajari berbagai ilmu lainnya. Misalnya sejarah, bahasa, sastra, wayang, filsafat, dan lain sebagainya.
Sebab ilmu-ilmu tadi akan membantu kita memahami keris. Serta membantu mencari titik terang saat ada pemahaman yang masih gelap atau kabur.
Contohnya misalnya belakangan ini saya menemukan tulisan-tulisan soal keris yang membahas keris yang sama, tapi artinya berbeda-beda, sehingga membingungkan yang membaca untuk tahu mana yang benar. Contohnya adalah dhapur keris Kidang Soka, Si A menulis bahwa dhapur ini artinya kijang yang bersedih, karena soka artinya bersedih atau berduka.
Sementara Si B menulis bahwa Kidang Soka artinya kijang yang riang gembira. Karena menurutnya kata soka berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya riang gembira. Kata soka yang diserap dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia jadi suka yang artinya senang.
Manakah yang benar? Versi Si A atau Si B?
Untuk menjawabnya mari kita kaji secara bahasa. Karena dhapur keris ini kemungkinan dibuat di era Jawa Kuna, maka kata yang digunakan juga dari Bahasa Jawa Kuna. Dalam Bahasa Jawa Kuna, kata soka artinya adalah duka, sedih, penderitaan. (Lihat P.J. Zoetmulder & S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, hal. 1113)
Lalu bagaimana dengan Bahasa Sansekerta? Ternyata tidak ada kata soka seperti kata Si B. Kata yang mendekati adalah शोक atau zoka yang artinya penderitaan (lihat kamus online learnsanskrit.cc), bukan riang gembira seperti kata Si B.
Maka dari sini ketahuan bahwa Si A lah yang benar soal arti Kidang Soka, yaitu kijang yang sedih, berduka, atau menderita. Jika kijang adalah simbol kebersamaan, keaktifan, kegembiraan, kewaspadaan, dan lain sebagainya, maka Kidang Soka mengandung pesan agar kita terus bersama, bersemangat, dan aktif dalam kehidupan meski banyak duka atau rintangan dan hambatan dalam perjalanannya. Atau pesan bahwa dalam hidup yang bahagia juga terdapat duka dan penderitaan yang musti dilalui.
Tapi makna soka ini tidak bisa serta merta diterapkan pada dhapur keris lainnya yang ada kata soka-nya juga. Misalnya Carang Soka.
Misalnya seperti di postingan seorang influencer keris atau pusaka yang memposting bahwa arti Carang Soka yaitu carang artinya ranting pohon, sedangkan soka berarti sedih. Jadi arti secara bahasa yaitu ranting pohon yang sedih. Nama Carang Soka, kata dia, mirip dengan Kidang Soka yang juga berhubungan dengan duka.
Benarkah demikian?
Jawabannya adalah tidak. Karena dhapur ini dari kata carang yang artinya ranting tanaman, berarti inspirasinya dari tumbuhan. Berbeda dengan kidang atau kijang yang dari hewan.
Maka soka di sini harus dicari di kalangan tumbuhan. Bukan digotak-gatuk-kan dengan kijang, gara-gara ada dhapur yang pakai kata soka juga yaitu Kidang Soka.
Maka saya setuju dengan Pak Haryono Hayoguritno bahwa soka di Carang Soka berasal dari Bunga Soka (Ixors coccinea). Jadi Carang Soka adalah ranting dari Bunga Soka. (Lihat Haryono Haryoguritno, Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar, hal. 181).
Kalau pun dicari tanaman yang terkait kata soka yang artinya kesedihan, adanya Pohon Asoka (Saraca asoca) yang disucikan umat Hindu. Kalaupun pohon ini adalah inspirasi Carang Soka, maka tetap berbeda dari soka pada Kidang Soka, karena asoka pada Pohon Asoka artinya tidak bersedih, kebalikan dari soka yang artinya sedih, duka, penderitaan dan lain sebagainya.
Maka yang lebih cocok adalah Bunga Soka dari genus Ixora. Sebab bunga yang juga dikenal sebagai West Indian Jasmine ini, ternyata nama genusnya yaitu Ixora merupakan latinisasi dari kata Ishwara dari Bahasa Sansekerta yang artinya Tuhan atau dewata. Bunga ini juga banyak digunakan dalam pemujaan di agama Hindu. Selain juga digunakan sebagai sarana pengobatan.
Apalagi di Jawa juga ada Bunga Soka Jawa Ixora javanica. Bunga Soka Jawa ini juga memiliki batang-batang yang bentuknya layak disebut carang dalam istilah Jawa.
Jadi arti Carang Soka sebagai ranting Bunga Soka lebih masuk akal dibanding ranting yang bersedih atau berduka. Karena yang bisa menunjukkan ekspresi sedih duka dan lain sebagainya itu hewan atau manusia, bukan tumbuhan.
Kalau kita lihat di Serat Centhini yang membahas dhapur keris (Jilid III Pupuh 236), Carang Soka termasuk beberapa dhapur yang dipaparkan di sana:
“13. Kanang dhapur Carang soka, maknanipun nêpsune tangan kalih, murade bakal puniku, dene tà rahsanira, wong iku bakal mijekake tamtu, mulane babo ngagêsang, arahên mijeni bêcik.
Terjemahannya:
13. Diceritakan dhapur carang soka, bermakna nafsu kedua tangan, pencapaiannya pada calon, adapun rahasianya, orang itu akan menyuruh, oleh sebab itu di dalam hidup, arahlah untuk menyuruh kebaikan.”
Memang pemaparan dhapur maupun rincikan keris di Serat Centhini yang berupa tembang itu bentuknya puitis dan masih abstrak, jadi perlu penjabaran atau penafsiran. Namun dari sama sudah terlihat bahwa Carang Soka juga tidak terkait dengan kedukaan, melainkan terkait dengan anjuran untuk melaksanakan kebaikan
Demikianlah makana soka yang ada pada dua dhapur keris. Itu hanyalah contoh kecil bahwa di keris masih banyak pemahaman umum yang bisa dikaji, direintepretasi, dan diangkat dari salah kaprah. Tentunya pengkajiannya harus secara ilmiah dan menarik, bukan ala klenik dan pakai argumentasi konon katanya.