Menang Lelang Watu Lintang

Setelah pertarungan yang melelahkan di lelangan, dan perjalanan yang lama dari mancanegara akhirnya meteor ini sampai juga di tangan saya. Ini adalah Meteor Muonionalusta, besi meteor atau iron meteorite yang masuk klasifikasi fine octahedrite ini ditemukan di Skandinavia Utara di antara Swedia dan Finlandia. 

Jatuhnya sudah lama sekali tapi baru ditemukan kemudian. Lalu banyak diperjualbelikan, dan termasuk salah satu yang populer di pasaran bersama Meteor Campo del Cielo.

Meteor ini banyak beredar sudah dalam betuk potongan. Ada juga sih yang masih untuk bongkahan tapi lebih mahal karena lebih berat. Potongan meteor ini banyak dibentuk liontin, gantungan kunci, patung, dan lain sebagainya. 

Ini yang saya dapat adalah remah-remah alias sisa-sisa potongannya. Remah-remah begini harganya lebih murah. Bagi saya remah tidak masalah, toh nanti juga bakal dilebur dan ditempa lagi buat pamor keris.

Potongan atau remah begini justru malah menunjukkan keindahan. Karena malah akan terlihat pola atau pattern Widmanstätten.

Pola Widmanstätten biasa ada di besi meteor. Tidak terlihat pada bongkahan tapi saat bongkahan dipotong maka pola ini akan terlihat. 

Pola ini juga beda-beda antara meteor satu dan lainnya. Kalau di meteor ini garis kecil-kecil, sementara di meteor lain misalnya Campo del Cielo, polanya agak bulat-bulat besar.

Meteor biasa disebut orang Jawa sebagai watu lintang yang artinya batu bintang. Disebut batu bintang karena jatuh dari langit, seperti bintang jatuh dan berwujud bongkahan batu. Meskipun aslinya kandungan mayoritasnya besi dan nikel, sehingga lebih pas disebut besi meteor. 

Meteor banyak dipakai jadi bahan pamor. Lalu mendapat tautan makna atau filosofi Bopo Angkoso. Jadi meteor yang dari langit ini adalah Bopo Angkoso yang kemudian disatukan dengan besi dan baja dari bumi yang mewakili Ibu Pertiwi. Lalu Bopo Angkoso dan Ibu Pertiwi ini menyatu dalam bilah keris bersama dengan nilai dan filosofi lainnya yang terdapat dalam motif pamor dan bentuk dapurnya.

Pamor untuk keris yang paling terkenal adalah Meteor Prambanan yang jatuh di daerah Parambanan sekitar tahun 1700an. Di era Sunan Pakubuwana (PB) III, bongkahan kecil meteor sudah dibawa ke Kraton Surakarta, dan di era PB IV, bongkahan besar dievakuasi ke Kraton dan diberi gelar Kanjeng Kiai Pamor. 

Dari Kanjeng Kiai Pamor inilah bahan pamor meteor untuk pusaka pesanan raja dibuat. Remah-ramah pecahannya dihadiahkan pada abdi dalem dan lainnya. Remahan juga banyak ditemukan masyarakat di lokasi meteor jatuh.

Ini yang beredar di pasaran dan dijual sebagai watu pamor. Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Solo, KRA Dany Narsugama dalam wawancara dengan Kompas.com mengungkapkan bawa di tahun 1935 harga di pasaran meteor satu gramnya sama dengan harga dua gram emas.

Hari ini, meteor atau watu lintang tetap jadi komoditas yang berharga. Seperti halnya remah meteor Prambanan, remah meteor masa kini pun masih diburu. Baik untuk penelitian, barang koleksi, barang ritual, sampai untuk bahan pamor.

Remah-remah yang harganya lebih miring dari bongkahan pun jadi rebutan. Jadi jangan heran kalau kadang saat ikut lelang watu lintang rasanya kayak lagi perang 😅 maka ada kesenangan dan kebanggan tersendiri saat menang lelang, apalagi kalau harganya “harga mahasiswa” haha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *