Banyak karya atau teknologi yang dahulu ada tapi kini punah karena tidak dikuasai lagi di masa kini. Di dunia keris juga ada, salah satunya adalah Rinojowerdi.
Rinojowerdi adalah ragam hias enamel yang dipakai untuk menghias pendok dan selut di sandangankeris Jawa. Rinojowerdi kerap muncul indah di sandangan mewah keris-keris gagrak atau gaya Yogyakarta.
Kini, pembuatan pendok dan selut Rinojowerdi sudah dinyatakan punah. Tidak ada lagi pendok dan selut yang dibuat dengan hiasan Rinojowerdi. Kalau pun ada itu Rinojowerdi ala ala yang dibuat dengan menggunakan cat atau pewarna lainnya.
Kenapa rinojowerdi punah? Kono katanya karena pengrajin saat ini tidak mewarisi teknologi pembuatannya. Konon katanya titik beku enamel Rinojowerdi di atas titik leleh emas atau perak yang kerap diberi hiasan ini. Akhirnya sulit menyelaraskannya. Sulit dibuat dan punahlah Rinojowerdi ini.
Benarkah rinojowerdi telah punah?
Kalau di sandangan keris Jawa mungkin iya. Tapi sebenernya dia masih eksis di seni atau kerajinan bangsa lain sampai hari ini.
Ragam hias enamel ini masih dipakai menghias benda seni baik di dunia Barat seperti negara-negara Eropa maupun Timur seperti Jepang, China, India, dan lain sebagainya. Nama umumnya adalah: Cloisonne. Silahkan googling Cloisonne maka akan muncul berbagai karya seni dengan hiasan enamel yang beragam dan indah.
Sementara di Japang juga dikenal dengan nama lain yaitu Shippoyaki. Shippoyaki ini kerap menghiasi sandangan Katana, bisanya di bagian Tsuba, Kashira, dll.
Menurut teman saya yang ahli Katana Om Donny Winardi, Shippoyaki di Katana bahkan lebih rumit dan indah dari Rinojowerdi di keris. Sebab tidak hanya main satu dua warna, tapi sudah sampai pola rumit dan gradasi berbagai warna. Silahkan dilihat di foto terlampir dari Om Donny.
Jadi Rinojowerdi atau enamel atau Cloisonne atau Shippoyaki ini tidak pernah punah di dunia. Tetap ada dari dulu hingga kini.
Lalu mengapa punah di keris? Kenapa tidak ada estafet pembuatannya di keris?
Kemungkinan karena memang di keris yang membuat bukan pengrajin pribumi. Jadi wajar jika tidak ada estafet atau getok tular seperti halnya kerajinan sandangan keris lainnya.
Rinojowerdi kemungkinan dibuat oleh pengrajin Eropa yang dulu ada di sini berdasarkan pesanan raja. Salah satu nama yang terkenal adalah Van Arcken & Co.
Van Arcken & Co adalah pengrajin emas, perak, permata, dan jam tangan yang terkenal di Hindia Belanda dari tahun 1851. Perusahaan ini baru hengkang setelah seabad eksis dan setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1958.
Menurut laman Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, perusahaan perhiasan yang dijuluki “Tiffany of The East” ini didirikan oleh Clemens van Areken. Pelanggannya adalah orang-orang kalangan atas seperti Gubernur Jendral Hindia Belanda, Keluarga Kraton Yogyakarta dan Surakarta, sampai Anggota Kerajaan Thailand.
Maka wajar jika tidak ada pengrajin pendok dan selut yang meneruskan Rinojowerdi. Sebab kemungkinan besar dulu pengrajin pribumi hanya membuat pendok atau selutnya, sementara memasang Rinojowerdi atau Cloisonne-nya dikerjakan oleh orang Eropa. Kolaborasi pengrajin pribumi, Eropa, China, adalah hal yang lumrah dan jamak di masa lalu.
Maka tidak heran juga jika pendok atau selut dengan hiasan Rinojowerdi hanya muncul di keris Kraton atau kalangan bangsawan. Biasanya di pendok atau selut dengan bahan emas atau suasa.
Jadi dari dulu memang seni berbiaya tinggi dan eksklusif. Wajar jika tidak ada lagi yang mengerjakan. Misal pun ada yang bisa, yang memesan belum tentu ada. Beda dengan pendok dan selut biasa.
Pada akhirnya wacana soal menghidupkan Rinojowerdi ini hanya jadi sebatas wacana saja. Timbul dan tenggelam dengan bahasan ke sana ke mari.
Sampai suatu hari ada yang sungguh-sunggu ingin menghidupkannya dan akhirnya berhasil. Orang yang berhasil menghidupkan kembali Rinojowerdi itu adalan Dokter Kartariadi Gandadinata.
Tak hanya Rinojowerdi, bahkan Dokter Karta yang merupakan pekeris senior ini juga membuat besalen di rumahnya dan berhasil membuat keris nom-noman Yogyakarta dan Surakarta dengan pamor iron meteorit. Dikerjakan dengan kualitas bagus, tidak asal jadi dan mendekati keris-keris lama.
Dokter Karta rajin membagi prosesnya di laman Facebooknya. Pada saya Dokter Karta mengaku untuk membuat keris dan riset pendok Ronojowerdi ini, sudah ratusan juta dana yang dikeluarkan.
Untuk pendok Rinojowerdi, bahan enamelnya dia mendatangkan dari Amerika, melalui jaringannya. Lalu selama riset trial and eror banyak pendok perak yang jadi korban kerena meleleh. Sampai akhrinya Dokter Karta menemukan metodenya dan berhasil membuat pendok Rinojowerdi.
Soal metodenya seperti apa, itu biarlah menjadi rahasia Dokter Karta. Saya pernah membaca bahwa bubuk Cloisonne butuh suhu pembakaran di suhu yang siap melumat perak dan emas.
Kini Dokter Karta masih terus meriset soal pendok Rinojowerdi. Setelah berhasil satu warna, mulai mencoba beberapa warna, dan akan terus menyempurnakan tampilannya.
Apa yang dilakukan Dokter Karta ini menurut saya adalah sebuah upaya pelestarian yang layak diapresiasi dan dijadikan teladan. Apalagi upaya ini tidak hanya membutuhkan tekad saja, tapi juga dana, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.
Selamat untuk Dokter Karta. Semoga semakin banyak pekeris yang melakukan hal yang sama.