
Hari ini 13 tahun yang lalu saya resmi memulai hal yang baru dalam hidup saya yaitu: membangun keluarga.
Saya masih ingat saat itu Hari Jumat, hari yang baik, tanggal 9 April 2010. Saya resmi menikah sebagai gerbang awal membangun keluarga. Alhamdulillah disaksikan langsung guru saya Abah KH Hasyim Muzadi, yang hari itu juga memberikan kutbah nikah yang sangat dalam dan indah.
Tak terasa kini sudah 13 tahun. Yang awalnya kami cuma bedua kini jadi berempat, setelah satu putri dan satu putra hadir sebagai buah hati dan anggota keluarga.
Sebagai bentuk syukur atas karunia Allah SWT berupa keluarga yang bahagia. Saya kemudian memutuskan membuat keris pusaka keluarga, yang akan saya perkenalkan di peringatan pernikahan saya, hari ini.
Maka lahirlah Keris Kiai Naga Kulawarga.

Keris naga dipilih karena naga identik dengan keris itu sendiri. Konon keris itu sendiri adalah stilisasi dari ular atau naga. Keris lurus merupakan simbol naga topo atau naga yang sedang diam bertapa, sementara keris luk (berkelok) adalah naga lumaku atau naga nglangi atau naga yang sedang berjalan atau berenang.
Maka tidak heran kalau naga lebih pas jadi hiasan atau ornamen keris dibanding hewan lainnya. Jika yang lainnya hanya muncul di gandik atau sor soran saja, naga bisa muncul serasi sepanjang bilah.
Selain itu, naga juga merupakan simbol kekuatan dan perlindungan atau pengayom. Maka dulu keris naga identik dengan keris raja atau pemimpin. Ini juga cocok untuk pusaka keluarga karena keluarga adalah ranah kepemimpinan terkecil dalam masyarakat atau peradaban. Di mana tanggungjawab, perlindungan dan pengayoman juga dibutuhkan.
Dapur keris naga saya ini adalah dapur baru yang saya desain sendiri. Pengerjaannya dibantu Mas Krisna Singomenggolo Putro.

Saya membuat dapur baru namun masih mengacu atau menggabungkan dapur naga yang sudah ada. Misalnya ada Naga Temanten, Naga Salira, dan lain sebagainya. Yang hasilnya adalah dapur ini yang kalau mau dimasukkan dapur naga baru yang masih mengikuti pakem bisa, atau kalau mau dibilang dapur keris kontemporer juga bisa.
Inilah wujud dari filosofi nunggak semi. Inovasi yang masih bertumpu pada tradisi. Semi tidak sama dengan tunggaknya, tapi semi tumbuh dari dan merupakan bagian dari tunggaknya.
Lalu keris ini saya namakan Naga Kulawarga.
Kulawarga adalah Bahasa Jawa Kuno yang artinya keluarga. Kata kulawaga ini di Bahasa Jawa kemudian lama-lama bergeser pengucapan jadi kluarga dan diserap dalam Bahasa Indonesia jadi keluarga. Kata kulawarga ini juga ada di Bahas Sunda dengan makna sama.
Ukiran sepasang naga di keris ini adalah simbol suami istri. Bedanya dengan Naga Temanten yang naganya identik atau kembar, di sini naganya saya buat tidak sama, yang satu jantan dan satu betina.
Dua badan sepasang naga ini lalu bertemu dan menjadi satu tubuh. Ini adalah lambang perkawinan, yang merupakan gerbang awal bangunan keluarga. Dalam perkawinan dua insan yang berbeda bersatu, nyawiji, menjadi seolah satu tubuh. Bersetubuh atau memadu kasih dalam perkawinan juga merupakan sarana melahirkan generasi penerus. Maka dalam Islam, pernikahan merupakan sunah bagi yang sudah dewasa dan mampu.
Perkawinan, di mana lingga bertemu dengan yoni, oleh nenek moyang kita juga dimaknai sebagai lambang kesuburan. Filosofi ini juga ada di keris yang dilambangkan dengan gonjo dan pesi, jalu memetdan lambe gajah dan lain sebagainya.
Lebih dari itu nyawiji juga bisa dimaknai mendalam sebagai bersatunya hamba dan pencipta. Manununggaling kawula lan gusti.
Di titik bertemunya dua tubuh naga menjadi satu, saya hias dengan bunga yang jumlah inti dan kelopaknya ada sembilan. Bunga adalah simbol kasih sayang dan sembilan adalah tanggal pernikahan saya.
Sementara dua naga kecil di bawah sepasang naga adalah simbol anak atau buah hati yang lahir setelah pernikahan dan menjadi pelengkap keluarga. Kebetulan anak saya dua, satu perempuan dan satu laki-laki. Maka anak naganya juga sepasang, satu jantan dan satu betina.
Anak adalah salah satu rezeki terbesar yang harus disyukuri. Simbol pelanjut keturunan, dan berlanjutnya kehidupan.
Sebaliknya anak juga bisa jadi petaka pads keluarga jika tidak berhasil mendidiknya. Banyak contoh di sekeliling kita bagaimana anak merusak keluarga. Maka nikmat anak juga sekaligus ujian bagaimana membesarkan dan mendidiknya, yang harus diemban secara bertanggungjawab.
Kijang di antara naga, sebagaimana ada di dapur naga lama, berguna untuk pembanding menunjukkan ukuran naga yang besar. Selain selain itu kijang yang hidup berkelompok juga simbol kebersamaan dan kekompakan. Kijang juga lincah dan adaptif, dia simbol kecerdikan dan kecakapan. Dia juga serbaguna, dagingnya bisa jadi makanan, kulitnya bisa jadi pakaian, dan memburunya juga bisa jadi hobi atau kesenangan, sebagaimana hobi para raja dahulu.
Maka kijang ini melambangkan kebersamaan, sandang, pangan, hobi, dan lain sebagainya yang dibutuhkan keluarga. Bahkan dalam regalia Sultan Yogyakarta yang digelari Kanjeng Kiai Upacara, ada juga patung kijang (dhalang) yang di bawa perawan bersama patung ayam, merak, dan lainnya.
Sementara di balik kijang ada ukiran telur naga. Telur bisa bermakna harta atau sebuah potensi. Bisa juga menyimbolkan ndog jagad (telur semesta), kesadaran mikrokosmos dan makrokosmos, yang terlalu panjang jika diuraikan di sini.
Untuk bilah keris ini, saya pilih luk bukan lurus. Luk menggambarkan nogo lumaku atau sarpo lumakualias naga yang sedang berjalan. Ini merupakan simbol perjalanan mengarungi kehidupan dalam bahtera rumah tangga yang dinamis dengan segala lika-likunya.
Luk-nya sendiri berjumlah 11 yang merupakan angka favorit saya. Karena saya lahir di tanggal 11, istri saya lahir di bulan 11, anak pertama saya lahir di tahun (dua ribu) 11, rumah saya di RW 11, jumlah salat malam Nabi 11 rakaat, pemain bola ada 11, idola saya Ryan Giggs juga nomor 11, dan banyak lagi alasan saya suka angka 11.
Lebih dari itu 11 atau sebelas yang dalam Bahasa Jawa disebut suwelas adalah simbol belas kasih. Suwelas = welas = welas asih. Ini adalah harapan saya agar saya dan keluarga senantiasa mendapatkan welas asih atau belas kasih dari Allah SWT dan selalu menerapkan welas asih pada keluarga dan sesama.
Ekor naga yang mengikuti bilah ke atas bermakna sebuah perjalanan rumah tangga atau keluarga yang masih berjalan atau masih berproses. Keluarga yang masih jauh dari sempurna tapi terus berusaha menuju ke puncak menggapai asa.
Tapi berbeda dengan kebanyakan keris naga di mana ekor naga sampai di pucuk, di keris ini ekor naga berhenti di luk ke-7. Kenapa tujuh, karena itu adalah bulan lahir saya. Selain itu, tujuh dalam Bahasa Jawa adalah pitu yang berarti pitulungan atau pertolongan. Ini adalah simbol doa dan pengharapan agar keluarga ini selalu mendapat pertolongan dari Allah SWT.

Sementara hiasan tanaman atau lung kamarogan di sekitar naga adalah simbol habitat atau rumah bagi keluarga naga. Juga melambangkan kesuburan, kelestarian, dan kemakmuran. Sebuah doa dan harapan agar keluarga ini selalu diberikan kelanggengan dalam kemakmuran dan kebahagiaan.
Keris ini berpamor keleng atau pengawak waja. Jadi full hitam, tidak ada pamor ngebyor, apalagi tinatahemas seperti idealnya keris naga. Ini menunjukkan level finansial saya yang masih pas-pasan, sehingga tidak kuat beli emas sekian ons buat tinatah haha.
Secara teknis memang keris dengan ukiran lebih terlihat detail ukirannya jika kelengan. Kalau ada pamornya terkadang tersamarkan. Kecuali ditinatah yang akan menonjolkan detailnya. Karena tidak mampu mentinatah dengan emas, pilihan terbaik adalah kelengan.
Namun kelengan juga jadi pilihan karena merupakan simbol kesederhanaan. Keluarga saya memang sederhana, bukan keluarga kaya. Saya pun selalu menanamkan kesederhanaan pada keluarga saya, apapun kondisinya dan di mana pun levelnya.
Selain itu keleng atau hitam juga bermakna keabadian. Di dalam agama kami, Islam, maknanya juga dalam. Hitam merupakan warna Ka’bah, Hajar Aswad, dan lain sebagainya.
Itulah keris pusaka keluarga saya yang saya gelari Kiai Naga Kulawarga. Sebuah penanda yang menyimbolkan doa dan harapan dari keluarga saya kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa.
Desain atau dapur keris ini boleh diputrani atau ditiru bagi siapa saja yang ingin membuat keris serupa. Baik persis sama maupun dimodifikasi di beberapa bagiannya.
Semoga keris ini juga bisa mengingatkan kita untuk melindungi, mengayomi, dan menyayangi keluarga kita. Ingat pesan dalam lagu di Sinetron Keluarga Cemara:
“Harta yang paling berharga adalah keluarga..”