Track NuRA: Nuntun Rame-rame

Sejak dibuka pada 11 Januari 2011 (11-1-11) lalu, track sepeda Rindu Alam yang baru (NuRA) menjadi perbincangan di mana-mana. Hampir semua komunitas sepeda gunung membicarakan jalur sepeda baru di daerah Puncak ini. Saya dan teman-teman di Bike to Nature pun ikut membicarakan dan penasaran dan ingin mencoba seperti apa track baru ini.

Akhirnya pada hari Minggu, 23 Januari 2011, kami memutuskan untuk pergi mencoba NuRA. Setelah koordinasi lewat group BBM dan milis B2N akhirnya saya dan teman-teman berangkat. Ada Pak Eko Probo, Hasim Cahyadi, Aldi, Aditya, Binoval, Chandra, Bakti Alamsyah, Pak Ramelan, Andre Wang dan Agung. Kita berkumpul di Masjid Gadog.

Sekitar pukul 7.15 WIB, kita menyewa tiga angkot untuk mengangkut sepeda dengan tarif satu angkot Rp80ribu. Perjalanan dengan angkot lumayan lancar dan tidak dihambat macet, sehingga sekitar pukul 8.00 WIB, rombongan kami sudah sampai di Warung Mang Ade, tempat berkumpul goweser yang mau gowes di track Rindu Alam. 

Setelah semua berkumpul dan mempersiapkan sepeda, seperti biasa kami sarapan dulu di warung ini. Menunya juga selalu sama yaitu nasi goreng ala Warung Mang Ade. Lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan karena dari rumah tak sempat sarapan. Maklum untuk gowes ke Puncak, kami yang tinggal di Jakarta dan Tangerang harus berangkat pagi-pagi buta.

sarapan di Warung Mang Ade

Ada pemandangan berbeda di warung ini. Di sini ada kotak putih yang bertuliskan dana apresiasi dan buku tamu. Ini adalah tempat sumbangan untuk merawat track NuRA. Jumlah sumbangannya adalah Rp10ribu per orang. Di sini juga ada teman-teman dengan rompi Marshall yang siap dijadikan pemandu. Tarifnya kalau tidak salah Rp100ribu.

Setelah sarapan dan mengisi sumbangan, kami mulai mempersiapkan diri untuk start gowes. Untuk gowes kali ini saya pake protector. Saya rela rogoh kocek dalam-dalam untuk meminang sixsixone 661 4X4 untuk melindungi kaki saya. Maklum saja, tahun baru kemarin saat gowes Telaga Warna (TW) dan RA lama/klasik, dengkul dan kaki saya jadi korban akibat nyungsep beberapa kali.

Untuk yang mau gowes di RA baik NuRA maupun RA klasik, protektor ini menurut saya hukumnya wajib, sebab di track yang tergolong All Mountain ini resiko nyungsep cukup tinggi dan kalau nyungsep, batu makadam dan teman-temannya siap meninggalkan kenang-kenangan di kaki anda.

Tanjakan pertama

Setelah persiapan selesai kita berdoa bersama dan meluncur ke NuRA. Kami semua buta akan jalur ini, karena belum pernah ada yang kemari sebelumnya. Kami hanya mengandalkan GPS Pak Eko yang sudah disuntik file track NuRA untuk jadi pemandu. Maka petualangan pun dimulai.

Berbeda dengan RA lama yang start di samping warung, untuk ke NuRA kita harus gowes di jalan raya menuju Puncak Pas. Setelah itu kita menyeberang dan ketemu tanjakan yang aduhai. Tanjakan ini adalah tanjakan aspal tapi bukan jalan raya dengan ketinggian dan jarak yang lumayan. Belum apa-apa kami sudah dipaksa mengeluarkan tenaga ekstra untuk menakhlukkan tanjakan ini.

Keluh kesah dan sumpah serapah pun muncul dari mulut teman-teman. Maklum dalam benak kami tanjakan baru akan kami temui di Ngehek, tapi ini baru start sudah ada “ngehek” nya. Sambil mengeluh semua tetap nanjak pelan-pelan. Beberapa teman yang tak biasa up hill menyerah dan memilih TTB. Di sini, Andre Wang yang jago main Down Hill (DH), dapat masalah, saat nanjak RD nya bermasalah.

Setelah tanjakan berhasil ditaklukkan, di atas kamu bertemu tulisan kecil tanda masuk jalur NuRA. Jalur ini diawali dengan turunan tanah tajam di pinggir jalan aspal nanjak tadi. Jika saat tanjakan, teman-teman yang biasa main DH mengeluh, di turunan ini mereka tampak bahagia dan langsung meluncur. Kami satu-satu meluncur dengan member jarak agar tidak tabrakan di bawah.

Suara derit rem yang beradu dengan rotor menjadi suara pengiring kami menuruni NuRA. Dalam benak berharap akan terus menurun sampai akhir. Tapi, harapan itu segera buyar saat berhadapan dengan tanjakan berlumpur dan sedikit bebatuan. Track ini memang cukup becek dan licin. Beberapa bagian tidak bisa digowes dan memaksa untuk TTB. Bagi anda yang biasa gowes di track Hutan UI, nah seperti itulah keadaannya.

Kombinasi jalan licin, becek dan tanjakan ini menjadi menu utama sampai di tempat istirahat pertama. Nah sebelum tempat istirahat, ada kejutan lagi, yaitu tanjakan curam licin. Banyak yang menyebut tanjakan tembok. Di sini ada tanda arah track dan larangan motor trail melintas (berupa gambar motor trail dicoret).

Tanjakan tembok

Di atas tanjakan inilah tempat istirahat resmi dibuat. Ada kayu yang dikhususkan sebagai dudukan parkir sepeda dan tempat lapang untuk istirahat. Kami dan rombongan sepeda lain beristirahat sejenak di sini. Pemandangan dari atas sini cukup indah, apalagi pagi itu kabut menyelimuti sekitar daerah ini.

Setelah istirahat perjalanan dilanjutkan. Mulai dari sini jalurnya berubah. Di sini mulai terlihat turunan tanah dengan tebing tanah di kiri dan jurang di kanan. Tanah di sini cukup gembur dan licin, jurangnya pun terlihat cukup dalam. Kami pun gowes dengan hati-hati. Di beberapa tempat ada batang pohon melintang di tengah jalan.

Pengelola track juga memberi tanda di tempat-tempat yang bahaya berupa bendera kuning. Jalur yang becek ini cukup menyulitkan. Tanah liat cepat menyelinap dan menghambat putaran roda. Iatilahnya ban jadi donat. Berkali-kali harus berhenti untuk membersihkan tanah yang membuat sepeda ngerem sendiri. Kondisi medan memaksa kami sering menuntun sepeda. Bakti bahkan melontarkan goyonan bahwa NuRA ini singkatan dari Nuntun Rame-rame.

Memang jika saya perhatikan di track yang licin ini banyak yang tidak memungkinkan digowes sehingga memaksa untuk TTB bersama-sama alias nuntun rame-rame. Jika ada kesempatan gowes, kami tak menyia-nyiakan dan langsung hajar, namun dengan kewaspadaan tinggi karena jurang di sebelah kanan seolah menanti.

Pak Ramelan Nyebur ke Jurang

Saat asik menggowes, tiba-tiba terdengar suara keras seperti benda jatuh berguling. Buk gedebuk..gedebuk. Lalu disusul teriakan dari teman yang ada di belakang. “Tahan..tahan ada yang jatuh..masuk jurang”. Saya kaget dan langsung meninggal sepeda dan menuju sumber suara.

Rupanya anggota rombongan kami Pak Ramelan jatuh masuk ke jurang. Dari cerita yang melihat, Pak Ramelan jatuh akibat kaki kanannya menginjak batu di tepi jurang dan batunya longsor. Akibatnya si bapak terjun bebas berguling-guling ke dalam jurang yang cukup dalam, sementara sepedanya tertinggal di atas.

Ajaibnya, Pak Ramelan yang usianya sekiatar kepala lima ini tak cidera sedikitpun, meski terjun ke jurang yang dalam. Hanya ada lecet kecil saja akibat tergores pepohonan. Padahal kita sudah khwatir terjadi cidera parah.

Pak Ramelan di dalam jurang

Di bawah Pak Ramelan kesulitan naik. Jurang yang curam dan tak adanya pohon yang enak untuk pegangan mempersulit. Kami pun mencoba membantu evakuasi dengan membentuk rantai manusia. Bukannya berhasil menolong, malah Om Idan ikut terherumus ke jurang. Jadinya di bawah ada dua orang yang harus ditolong.

Di sini, kami baru sadar bahwa untuk turing dengan medan yang banyak jurangnya seperti ini, tali tambang penting untuk dibawa. Gunanya tentu saja untuk memudahkan mengevakuasi teman yang jatuh ke jurang atau sepedanya.

Evakuasi Pak Ramelan

Singkat cerita akhirnya Pak Ramlan dan Om Idan bisa naik ke atas. Setelah di atas kami mengecek dan menanyakan apakah Pak Ramelan gak apa-apa. Dia dengan semangat menjawab tidak apa-apa dan siap gowes kembali. Alhamdulillah. Ternyata, lokasi jatuhnya si bapak tak jauh dari bendera kuning. Lalu kami sepakat memindah bendera ke tepat lokasi di mana si bapak jatuh, karena di situ lebih berbahaya dibanding lokasi bendera yang ada sekitar lima meter di depan.

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Sambil gowes rupanya rombongan masih heran dengan kejadian dan keajaiban yang menimpa Pak Ramelan. Semua heran dengan usia yang tak muda lagi, dan tanpa protektor, si bapak bisa selamat dari nyungsruk ke jurang yang dalamnya sekitar 30 meter. Maka kemudian kami menjuluki Pak Ramelan dengan sebutan “The Legend”.

Setelah melaju dengan kombinasi gowes dan nuntun rame-rame kami ketemu turunan yang asik. Baru saja melaju tiba-tiba ada seseorang yang mengingatkan agar mengurangi kecepatan. Benar saja turunan tajam berlumpur menunggu di depan. Hajar.. Lalu sampailah kita pada persimpangan. Di sini ada tanda pemilihan jalur. Tanda DH mengarah ke kiri yang menunjukkan arah ke track DH, dan tanda XC mengarah ke kanan yang menunjukkan arah ke track XC.

Di awal, terlihat arah ke XC lebih curam menurun. Ini agak menipu. Tapi saya lebih percaya ke tanda dan memilih XC. Beberapa teman yang suka main DH memilih ke kanan. Tapi jangan salah meski lebelnya XC, tapi di sini turunannya cukup heboh juga. Saat sedang asik meliuk-liuk turun, tiba-tiba sepeda saya terasa liar jalannya dari bagian belakang. Oh rupanya ban saya kempes sampai terlepas dari pelek. Akhirnya saya berhenti sejenak dan mengganti ban dalam dengan ban cadangan. Memang dalam turing seperti ini ban cadangan sangat penting, karena gak bakal ada tukang tambal ban di dalam hutan.

Saat mengganti ban, saya dengar di atas banyak suara gedebuk dan cekikikan. Rupanya tim yang memilih jalur DH sedang mengalami judul lagu Megi Z, yaitu jatuh bangun. Namanya tim Srimulat, jatuh bangun justru membuat tawa makin lebar saja. Kami yang di jalur XC sempat meneriaki. “Woi itu DH kok malah ketawa-ketawa, dasar”.

Rupanya dari cerita Pak Eko, Andre sempat jatuh dan terkena kayu runcing. Memang di track ini ada beberapa bekas potongan pohon yang masih terlihat runcing. Yang bikin ketawa dari kejadian itu, Idan bukannya menolong Andre tapi justru mengelus pohon runcingnya:  “Ga apa-apa lah ini ga keras kok” sementara andre masih meringis kesakitan. Namun untungnya Andre tidak cidera.

Akhirnya setelah saya ganti ban dan lanjut, tim DH dan tim XC bertemu. Jika dilihat, rupanya jalur XC memutar dan jalur DH memotong. Ada titik di mana jalur DH akan tiba-tiba memotong jalur XC, jika tidak waspada bisa bertabrakan di sini.

Gowes dilanjutkan, formulanya tetap sama gowes dan nuntun rame-rame. Sesekali harus berhenti membersihkan tanah yang membuat ban tak bergerak. Saya lihat beberapa orang dengan ban besar lebih kesulitan karena tanah akan lebih cepat membuat bannya macet. Di sini sepeda dengan rem V brake dijamin juga akan sulit. Bukan soal daya pengeremannya, tapi karena V brakenya bakalan panen lumpur dan memacetkan roda.

Kondisi track yang teduh, membuat tanah awet basah dan becek ketika dilewati banyak sepeda. Mungkin jika musim kemarau dan tanah agak keras, track ini akan enak dilewati tanpa harus banyak TTB atau memang akan terus seperti itu sehingga mempunyai karakter khas: nuntun rame-rame.

Mencuci Sepeda di Rumah warga

Akhirnya setelah track hutan selesai dilewati kami masuk ke dalam perumahan Perkebunan Gunung Mas. Para warga langsung menyambut dan menawari kami mencuci sepeda. Dengan kondisi sepeda penuh lumpur dan tarif yang cuma Rp5000 saja, akhirnya semua yang keluar dari jalur NuRA mencucikan sepedanya.

Warga mencuci sepeda dengan air dari selang dan selokan-selokan berair jernih. Memang mencucinya tidak begitu detail, namun cukup untuk membuang lumpur dan membuat sepeda kembali kinclong.

Sambil menunggu sepeda dicuci kami beristirahat. Di sini saya mengamati sepeda yang ada. Ternyata cuma sepeda saya yang hard tail, yang lain fulsus semua. Saya jadi ingat ada yang mengatakan sepeda HT sulit gowes di NuRA, ternyata tidak juga. Sepeda saya buktinya.

Tak lama kemudian Pak Ramelan datang. Dia kembali mengalami masalah. Kali ini anting RD sepedanya patah. Setelah sepeda dicuci, kami membantu menangani. Rantai kita potong dengan kunci dari Bakti, kemudian Pak Eko memotong RD dan sepeda Patrol si bapak dijadikan single speed. Tapi karena kita mau melanjutkan finis sampai gadog dan banyak tanjakan akhirnya kita sarankan Pak Ramelan pulang duluan naik angkot dari Gunung Mas.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju jalur RA klasik. Seperti biasa dari Gunung Mas menuju Taman Safari dan berhenti sejenak di terminal untuk beli makan siang. Di sini kembali tim terpecah. Beberapa down hiller memilih naik ojek, sementara saya, Hasim, Pak Eko, Idan, Aldi, menggenjot sampai titik darah penghabisan.

Seharusnya di Tanjakan Ngehek ini ada lomba tanjakan. Hasim dengan Patrolnya siap melawan Rudi dengan colossus barunya. Peraturan lomba, siapa yang berhenti duluan atau istirahat di Ngehek dinyatakan kalah. Tapi tiba-tiba Rudi kalah WO karena tiba-tiba tidak ikut ke NuRA.

Akhirnya kita istirahat dan makan siang di Saung I. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju jalan makadam. Di sini Si Aldi melakukan napak tilas sambil penyembuhan trauma. Sebab di jalur macadam turunan curam ini dia penah jatuh dan menyebabkan pelek bawaan Specialized XC nya peyang dan memaksanya diangkut mobil rumput. Tetapi itu dulu, semua sudah berubah, dengan pelek xd lite barunya Si Aldi membabat habis makadam. Meski masih terlihat ragu-ragu dan sering ngerem.

Lalu perjalanan dilanjutkan dengan masuk hutan. Di sini tiba-tiba hujan deras. Saat hujan begini kacamata tak banyak membantu, berkali-kali harus menyeka mata yang perih terkena air bercampur keringat. Jalanan pun berubah menjadi seperti selokan air. Tapi hujan membuat gowes jadi bersemangat. Akhirnya tak terasa sampai di warung di tepi hutan. Kami pun beristirahat menunggu tim lengkap.

Setelah itu, semua langsung gowes di jalur turunan aspal. Nikmat sekali meluncur kencang. Namun harus tetap waspada karena banyak mobil dan motor yang kadang nyelonong. Sore hari kami sampai di kembali di Masjid Gadog. Saya tak mencuci sepeda karena sudah bersih saat di Gunung Mas dan kena hujan barusan. Akhirnya di sini kami berpisah dan kembali ke Jakarta dengan gembira karena sudah puas memuaskan penasaran mencoba jalur NuRA.

7 comments to “Track NuRA: Nuntun Rame-rame”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *