Pak Cik Nak Cari Bilik

Rasa geram saya pada Malaysia belum juga sirna seusai melihat video TKI dianiaya dan kaim budaya kita oleh mereka. Tiba-tiba ingatan saya melayang ke masa sekitar enam tahun lalu saat masih di yogya.

Kala itu ada seorang bapak yang bertampang asing clingak-clinguk di dekat kos kosan tempat saya tinggal. Saya dekati dia, sambil menebak dalam hati bahwa dia adalah orang timur tengah yang hendak mencari kos. Di UGM memang banyak mahasiswa asing yang ambil kuliah pascasarjana.

“Helo sir, can i help u,” kata saya, dengan modal bahasa inggris pas-pasan.
“Awak nak cari bilik,” balasnya.

Kaget saya, wah ni orang bisa bahasa melayu. Paling tidak memudahkan percakapan, maklum bahasa inggris saya pas pasan, atau gak bisa kali ya hehe.

Lalu kita ngobrol di teras kos saya yang letaknya persis di seberang Mesjid UGM dan hanya dipisahkan jalan kampus.

Percakapan kita sering tersendat. Sebab banyak frasa dalam bahasa melayu yang sudah tidak cocok dengan bahasa Indonesia. Misalnya ya tadi itu, saya bilang kamar dia bilang bilik, dan banyak lagi.

Singkat cerita ternyata dia mencari kamar kos untuk anak perempuannya. Lalu saya bilang di sini khusus pria, dia maklum dan meminta tolong untuk mengabarkan jika ada tempat kos cewek.

Ternyata anaknya mau kuliah di kedokteran gigi UGM. Saya lalu tanya mengapa dia memilih menyekolahkan anaknya di UGM. Sementara banyak orang Indonesia sekolah di Malaysia. Dia mengatakan sebenar pendidikan di Indonesia lebih baik. Itu kata dia.

Saya percaya saja. Lebih bangga lagi saat dia mengatakan UGM bagus. “U G M juge tak,” tanyanya sambil melafalkan huru secara bahasa inggris.

“Iya pak cik, philosophy” jawab saya.
“Good” pujinya.

Waduh jarang jarang ada yang memuji fakultas saya. Kebanyakan mencibir sebagai tempat kuliah orang gila dan bermasa depan suram.

Lalu dia menitipkan nama dan nomor telefonnya. saya perkenalkan juga nama saya. Lalu dia tampak heran.

“Nama awak dian bin siape,” tanyanya.

“gak pakai bin pak cik,” jawab saya.

Lalu dia menjelaskan di Malaysia jika muslim nama harus pakai bin atau binti. mislnya Umar bin Ali atau Siti binti Umar.

Jika keturunan India ada nama khas Indianya. Jika kristen ada nama baptis di depan namanya. sedangkan jika Cina namanya tiga suku kata, misalnya Go Chok Tong atau Liem Swie King.

Jadi di Malaysia dari nama sudah ketahuan dia etnis apa atau beragama apa. Saya manggut-manggut, baru tahu ada begituan di sana.

Namun yang lebih kaget lagi dia ternyata keturunan Indonesia. Bahkan sama-sama Jawa Timur sama saya. Bapaknya imigran asal Ponorogo. Waduh.

Katanya banyak orang Malaysia yang masih keturunan Jawa dan suku Indonesia lainnya.

Lalu saya sok sokan bilang bahwa banyak teman dan tetangga di kampung yang kerja di sana. Dia lalu bilang sayang kebanyakan orang Indonesia kerja kasar di sana. Kerja teknis dan bergengsi banyak diambil orang bule. orang Malaysia memang banyak tergantung dengan tenaga kerja luar.

Lalu dia pamit dan berterimakasih. Saya mengantarnya sampai gerbang, dia melambaikan tangan sambil berlalu. Saya lihat pria setengah baya itu mulai menghilang ke arah kampus.

Andai semua orang Malaysia seperti pak cik. Pasti geger seperti saat ini tidak akan terjadi. Saya juga tak perlu geram pada negara jiran itu.

Andai saat itu dia datang dengan anaknya.
Sambil membayangkan anaknya pasti secantik Siti Nurhaliza atau Sheila Madjid..hehe..

30 Agustus 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published.