Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari ini, 1 Juni, diperingati sebagai hari Lahirnya Pancasila. Tahun ini lemih semarak peringatannya. Banyak yang memasang avatar dan hastag: Saya Indonesia, Saya Pancasila, dan Pekan Pancasila. Juga hal lain untuk menunjukkan bahwa dirinya Pancasilais.
Belakangan memang banyak orang yang merasa perlu dan penting memamerkan bahwa dirinya sangat Pancasilais. Termasuk mereka yang dulu waktu di awal Reformasi rada alergi sama Pancasila yang dinilai Orba banget. Ada yang waktu masih aktivis mahasiswa teriak-teriak mengkritik Pancasila, kini teriak-teriak seolah paling Pancasilais. Ada yang organisasi dan politisi yang anti dengan azas tunggal Pancasila kini meminta semua harus berazas pancasila. Bahkan lagu seorang musisi nasional yang memplesetkan Pancasila jadi populer dan dinyanyikan di mana-mana kala itu. Termasuk oleh mereka-mereka yang hari ini “mendadak Pancasilais”.
Bahkan pusat Studi Pancasila di kampus saya dulu juga sering diolok-olok. Penelitian dan tulisan soal Pancasila pun sering dinilai tidak keren. Saya masih ingat betul soal ini.
Tapi sudahlah, kita memang suka pelupa. Esok dele sore tempe, kemarin A sekarang B, itu sudah normal saja di masyarakat kita.
Kembali ke Hari Lahir Pancasila, peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni ini kembali diperingati pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Dahulu saat Orde Baru masih berkuasa, peringatan 1 Juni ini dilarang. Tepatnya sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mencatat rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto berjudul “Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik” (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).
Nugroho di sana mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah (yakni berlandaskan proklamasi) pada 18 Agustus 1945.
Tujuan rekayasa Orde Baru adalah untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung (ajaran) Soekarno tampil di kancah politik nasional.
Nah, sekarang Pancasila sudah kembali diperingati 1 Juni. Lalu selesaikah sampai di sini? Tentu saja belum. Bahkan saya setuju dengan pernyataan “Pancasila belum lahir”.
Anda pasti kaget dan bertanya, lho kok bisa?!
Jadi begini, pernyataan “Pancasila belum lahir” itu dikatakan oleh guru saya di Filsafat UGM Almarhum Prof Damardjati Supadjar. Dalam setiap kuliah Pancasila, Pak Damar yang dulu peneliti Pusat Studi Pancasila UGM ini selalu mengatakan Pancasila belum lahir karena Pancasila masih “batin”.
Bagi yang pertama mendengarnya pasti akan mengaku puyeng dan mengatakan, tesis gila filsafat macam apa lagi ini?! Hal itu yang biasanya dikatakan mahasiswa beliau dulu saat baru ikutan kuliah beliau.
Tapi sebenarnya itu tidaklah terlalu abstrak dan melangit seperti pemikiran filsafat kebanyakan. Simpel saja penjelasannya. Pancasila belum “lahir” itu artinya dia belum aktual di kehidupan. Pancasila baru sebatas konsep di dalam pemikiran atau “batin”. Lahir kan lawannya batin.
Ini tentu bukan argumen mengada-ada, Pak Damardjati yakin Pancasila belum teraktualisasi. Buktinya adalah belum dilaksanakannya sila ke lima pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Silahkan anda pikirkan, sudah adakah keadilan sosial di negeri ini? Sudah berjalan baikkah hukum sebagai instrument keadilan di sini? Jawabannya pasti tidak? Dan itu nyata terlihat di sekitar kita. Kesewenangan dan diskriminasi juga makin merajalela.
Apanya yang keadilan sosial kalau separuh lebih kekayaan di negara ini dukuasai satu persen orang kaya. Empat orang terkaya, kekayaannya jika digabung setara dengan gabungan harta 100 juta rakyat miskin. Jurang pemisah antara kaya dan miskin masih lebar. Kesenjangan mencolok di sana sini.
Lalu keadilan sosial itu bagaimana?
Almarhum KH Hasyim Muzadi pernah mengatakan, keadilan sosial itu bukan sama rasa sama rata, tapi sama-sama merasakan. Tukang tambal ban, bagiannya jelas akan berbeda dengan pabrik ban. Tapi mereka harus sama-sama merasakan. Jangan hanya pabrik ban saja yang sejahtera, sementara tambal bannya makin menderita. Negara memang harus hadir untuk mewujudkan keadilan sosial ini.
Saya masih hafal betul, Pak Damardjati mengatakan Pancasila diawali dengan Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan entitas “batin” dan diakhiri dengan Sila ke Lima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang merupakan entitas “lahir”. Ideal sekali memang ideologi Pancasila ini, seperti Al Quran yang diawali dengan Surat Al Fatihah yang mencerminkan entitas batin, dan diakhiri dengan Surat An Nas (Manusia), yang mencerminkan entitas lahir.
Keadilan juga merupakan suatu prasyarat kokohnya negara. Di sini Pancasila kembali cocok dengan Islam yang juga menegaskan pentingnya keadilan. Misalnya ukuran pemimpin dalam Islam adalah adil atau tidaknya. Jadi kalau ada yang mengatakan Pancasila bertentangan dengan Islam, sebagaimana sering diisukan aktivis pro negara Islam, pro kilafah dan sejenisnya, saya kira mereka perlu belajar lebih dalam lagi.
Lalu jika Pancasila belum Lahir, yang diperingati pada 1 Juni ini apa?
Itu hanyalah peringatan lahirnya Pancasila secara konsep saja alias “Pancasila Batin”. Selama keadilan sosial, yang menjadi cita-cita Pancasila, masih belum tegak, maka Pancasila belum lahir. Selama Pancasila belum lahir, dia hanya akan menjadi sebuah konsep yang menjadi bahan hafalan anak-anak sekolah, jargon, atau bahan posting kekinian seperti yang marak belakangan ini.