“Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak anda untuk mengatakannya”
Kata-kata Filsuf dan Pujangga Prancis Francois Marie Arouet alis Voltaire itu belakangan menjadi sering muncul kembali. Kata-kata yang terakhir saya baca saat masih mahasiswa itu tiba-tiba kembali bertebaran di media sosial untuk merespon kejadian yang ramai belakangan ini.
Belakangan ini sedang ramai tentang pemblokiran situs-situs Islam yang diduga terkait atau menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran ini dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Setidaknya ada 19 situs seperti dakwatuna.com, voaislam.com, arrahmah.com, dan sebagainya, yang diminta diblokir oleh BNPT dalam suratnya nomor 149/K.BNPT/3/2015.
Pemblokiran ini kemudian tentu saja menjadi ramai. Pendapat pro dan konta pun bermunculan. Ada yang setuju karena menilai situs tersebut memang radikal, provokatif, dan sering menebar kebencian pada pihak lain. Intinya situs itu berkonten negatif maka layak diblokir. Ada pula tidak setuju, dengan alasan itu membrangus kebebasan berpendapat, tuduhan radikal terlalu subjektif, sampai dugaan bahwa pemerintah mencoba untuk mematikan gerakan Islam atau terkena wabah Islamophobia.
Saya tidak hendak masuk untuk membahas lebih dalam pro kontra dan masing-masing alasannya. Itu sudah banyak yang membahas dan akan mudah anda dapatkan di media massa. Tapi saya sendiri termasuk yang tidak setuju dengan tindakan pemblokiran.
Saya pribadi memang sering tidak setuju dengan isi situs-situs Islam tersebut. Seringkali isi artikelnya saya nilai tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang saya pelajari. Namun, meski tidak setuju dengan kontennya, saya lebih tidak setuju dengan pemblokirannya. Kata-kata Voltaire di atas, dalam hal ini, bisa mewakili pendapat saya.
Namun lebih dari sekadar soal kebebasan, ada hal lain yang perlu dicermati terkait pemblokiran ini, yaitu soal efektivitas. Efektifkah melawan konten “negatif” di internet dengan cara memblokir? Untuk menjawab hal ini kita perlu memahami sebuah “hukum” atau fenomena di internet yang dikenal sebagai “Streisand effect” atau “Efek Streisand”.
Streisand effect ini dikenalkan oleh Mike Masnick dari Techdirt. Sederhananya Efek Streisand ini menunjukkan bahwa semakin kita ingin menghilangkan, menyembunyikan, memblokir, atau mensensor sebuah konten atau informasi di internet atau dunia maya, maka yang terjadi seringkali adalah sebaliknya. Upaya tersebut, justru akan membuat konten atau informasi tadi akan semakin menyebar secara luas.
Nama Streisand sendiri diambil dari nama selebriti tersohor Amerika: Barbra Streisand. Ceritanya Barbra tidak suka foto rumah mewahnya di Malibu difoto dan dipajang di pictopia.com. Karena itu pada 2003 dia menuntut fotografer Kenneth Adelman dan pictopia.com secara hukum karena melanggar privasi dan meminta foto tersebut dihapus. Namun yang terjadi kemudian justru foto tersebut tersebar dan jadi banyak diketahui orang karena kasus ini.
Jika sebelumnya hanya enam orang yang lihat foto itu di situs tersebut (dua di antaranya pengacara Barbra, untuk kepentingan penuntutan), setelah tuntutan itu sebulan kemudian yang melihat menjadi 420 ribu orang. Sejak saat itu, fenomena sejenis disebut Streisand Effect.
Sudah banyak kasus dari berbagai bidang dan berbagai negara terkena efek ini. Maksud hati menghilangkan atau membrangus, namun yang terjadi justru makin menyebar dan makin dikenal. Bukan tidak mungkin pemblokiran situs Islam juga akan mengalami hal yang sama.
Saya yakin, sebelum diblokir, situs-situs tersebut relatif tidak banyak pembaca atau pengunjungnya. Namun dengan diblokir oleh pemerintah, maka pembacanya akan meningkat karena jadi ramai, dan memancing rasa penasaran orang. Yang awalnya tidak tertarik kemudian jadi tertarik karena sekadar penasaran atau simpati.
Kan sudah diblokir, jadi tidak bisa dibaca atau dikunjungi? Kata siapa!
Pepatah “Banyak jalan menuju Roma” sangat berlaku di dunia maya. Faktanya banyak trik dan tools yang mudah dan gratisan untuk menembus blokir. Dulu Menkominfo Tifatul Sembiring merasa sukses memblokir banyak situs porno, faktanya situs itu masih bisa dilihat dengan trik mudah seperti mengubah DNS atau memakai tools tertentu. Justru daftar situs porno yang diblokir jadi referensi baru bagi merek untuk mengunjunginya. Yang awalnya gak kenal situs bokep A jadi kenal dari daftar dan kemudian nonton situs A.
Contoh lain saat pemilu lalu, di youtub disebar video yang menunjukkan bahwa ada setingan di acara kuis yang disponsori Partai Hanura di RCTI. Video yang dikenal dengan “Video Istana Maimun” itu kemudian menghilang di Youtube dengan keterangan diminta dihapus oleh pemilik hak cipta (stasiun televisi). Setiap ada postingan baru video serupa di Youtube, tak lama kemudian akan hilang.
Namun hilangkah konten itu? Tentu saja tidak. Tak lama kemudian video itu menyebar di Facebook (yang saat itu relatif tak seketat sensor videonya dibanding youtube) dan media lain. Maka penyebaran video yang diduga coba disensor ini pun menjadi tidak terbendung.
BNPT mungkin perlu belajar dari pengalaman Badan Intelijen Prancis (General Directorate for Internal Security) yang juga melakukan upaya sensor dan akhirnya terkena Efek Streisand. Saat itu BIN-nya Prancis ini ingin menghapus artikel tentang “Militrary Radio Station of Pierre-sur-Haute” di Wikipedia bahasa Prancis. Tapi apa yang terjadi, karena upaya itu, artikel tersebut justru menjadi artikel Wikipedia yang paling banyak dibaca.
Saya tidak tahu apakah Kemenkominfo atau BNPT tahu atau tidak tentang Efek Streisand ini. Harusnya sebagai lembaga negara dengan staf khusus yang pintar-pintar mereka tahu. Namun dari kebijakannya sepertinya mereka tidak tahu atau tidak paham.
Sebab jika tahu dan paham, maka bukan kebijakan blokir yang akan dipilih. Sebab banyak cara lain yang mungkin lebih efektif. Misalnya jika menganggap sebuah konten di internet negatif, maka lawanlah dengan konten positif. Saya kira banyak pakar dan ahli yang mampu dan mau membantu.
Memang sih, melawan konten negatif dengan konten positif ini tidak sederhana. Butuh upaya ekstra, strategi yang baik, dan kreatifitas agar menarik. Tidak seperti cara blokir atau sensor yang relatif lebih gampang.
Atau jangan-jangan memang pemerintah kita suka yang gambang-gampang. Soal efek pikir belakangan, karena mungkin pemerintah sekarang punya stok segudang alasan dan pembenaran.