Menonton film adalah aktivitas favorit yang paling banyak saya lakukan selain membaca buku. Sekarang yang lagi rame di bioskop adalah film jagoan lawan jagoan: Batman lawan Superman, atau nanti (kubu) Ironman lawan Kapten Amerika. Dulu, waktu saya masih kecil juga nontonnya film jagoan lawan jagoan: Si Buta lawan Jaka Sembung.
Bagi saya sama-sama seru. Bedanya kalau film yang seru sekarang mayoritas impor, kalau dulu masih banyak film buatan lokal yang oke. Sekarang film lokal kebanyakan film alay, yang diadaptasi dari novel/buku alay, atau asal dibintangi idola alay.
Film lokal memang belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Market share film nasional tahun 2015 lalu hanya 20 persen, jumlah film yang tayang 116, dan jumlah layarnya 1111. Memang, lima tahun terakhir jumlah produksi film nasional meningkat sebesar 64 persen, namun ini diiringi dengan penurunan penonton 32 persen.
Pendapatan produsen film nasional memang bergantung pada bioskop. Sementara bioskop dikuasai oleh film-film impor dari Hollywood. Kualitas film juga berpengaruh. Mayoritas film lokal dibuat seadanya dengan budged di bawah Rp3M. Ya film alay itulah hasilnya. Lalu mau diadu dengan film Hollywood yang dibuat dengan lebih serius dan dana jauh lebih besar? Ya wasalam.
Lalu bagaimana agar film nasional berjaya di negeri sendiri? Menurut saya yang penting dilakukan pertama kali adalah memperbaiki kualitasnya. Saya yakin kita bisa. Banyak kok sutradara dan produser handal di Indonesia. Film-film bagus dan laris dari luar ternyata banyak juga yang melibatkan animator Indonesia.
Selain itu pasarnya juga harus diperluas. Jangan hanya muter-muter di bioskop saja yang ternyata cuma sedikit itu. Misalnya coba jajakan secara online. Banyak lo yang ingin nonton tapi keburu ilang di bioskop, sementara DVD keluarnya beberapa bulan lagi. Mau nonton online (bayar sekalipun) gak ada.
Selain itu bioskop juga hanya ada di kota-kota saja. Sementara orang di kampung itu lebih haus hiburan dan mereka ini jumlahnya sangat banyak. Masak mau nonton film harus traveling dulu ke kota? Kalau ada yang mampu begitu ya jumlahnya hanya beberapa saja.
Kenapa tidak mencontoh zaman dulu? Zaman saya masih kecil dan lagi rame-ramenya film nasional. Saat itu kami yang di kampung gak ketinggalan sama orang kota untuk nonton film seperti Jaka Sembung, Warkop, filmnya Rano Karno, Rhoma Irama, dan lain sebagainya. Memang di kampung gak ada bioskop, tapi ada layar tancap.
Layar tancap ini biasanya dipersembahkan oleh orang hajatan atau produsen rokok atau jamu. Mereka membeli film itu lalu memutar secara gratis. Produsen film tetap untung. Sementara yang bawa film ke kampung dapet untung dari promosi dan jualan rokok atau jamu. Atau bisa mencoba model “bioskop kampung”. Tetap layar tanacap, tapi tempatnya ditutup. Kalau mau nonton kita bayar. XXI ala kampung ini dulu saya lihat selalu penuh dan menguntungkan. Tahu dari mana? Dari cerita yang punya, kebetulan teman bapak saya hehe.
Tapi lebih dari soal bisnisnya. Memutar film sampai ke kampung-kampung, juga punya keuntungan lain. Saya percaya, seperti halnya buku, film bermutu juga sarana mencerdaskan manusia. Siapa tahu nanti anak-anak kampung itu ada yang terinspirasi jadi sutradara atau pemain film kelas dunia.
Atau setidaknya memperluas akses hiburan lah. Kalau pembangunan pelu pemerataan di samping pertumbuhan, perfilman juga butuh pemerataan. Pemerataan film nasional, sehingga bisa ditonton sampai desa-desa penting menurut saya. Alfamart atau Indomaret saja bisa merata, sampai menjangkau tempat yang paling pelosok. Bioskop harusnya juga bisa, tentu kelasnya di bawah yang versi bioskop mahal di kota. Bayangkan lapangan kerja yang akan disumbangkan sektor ini baik langsung maupun tidak langsung.
Saya yakin pemerataan film ini juga akan mendapat sambutan hangat. Karena saya masih ingat sekali betapa gembiranya kami dulu saat melihat mobil rombongan film masuk ke lapangan dan mulai mendirikan tiang layar. Lalu tak lama kemudian lapangan itu telah berubah jadi lautan manusia baik penonton maupun pedagang. Ekonomi kerakyatan kelas kecamatan pun ikut berputar.
Saat malam pemutatan tiba, yang ada hanya manusia-manusia gembira yang khusyuk menikmati cerita. Beralaskan rumput, tikar, atau sendal. Beratapkan langit penuh bintang.
Hening. Yang terdengar hanya suara:
“Rhoma, sungguh teganya kau meninggalkan aku..”
“Tidak Ani.. Aniiiiiii…”
————————————————–
Selamat Hari Film Nasional