Sore ini saya mendapat kiriman desain ucapan menyambut Ramadan dari desainer untuk bos. Lalu saya meminta kata Ramadhan diganti Ramadan, karena sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang benar Ramadan.
Namun permintaan saya ditolak karena kata Ramadhan yang dipakai di desain sudah hasil diskusi. Peserta diskusi menyepakati kata Ramadan di KBBI itu salah.
Argumen yang dipakai adalah tulisan Akhmad Sekhu yang berpendapat bahwa kata Ramadan di KBBI itu salah kaprah. Sebab jika merunut Bahasa Arab, “Ramadan” (tanpa huruf h) artinya orang yang sakit mata mau buta. Sementara “Ramadhan” berarti panas yang menyengat atau kekeringan. Dari sana kata Ramadan dijadikan nama bulan karena di hari-hari Ramadhan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. (Selengkapnya baca di sini)
Untuk menghargai hasil diskusi dan kerja desain teman-teman saya, saya ikuti saja. Namun sebenarnya ada yang masih ngeganjel.
Saya tidak tahu Bahasa Arab. Jadi saya tidak tahu apakah pendapat itu benar atau salah. Namun yang saya tahu, Bahasa Indonesia juga ada kaidahnya, dan untuk memasukkan kata ke KBBI juga ada prosesnya. Juga melibatkan ahli bahasa asing, jika itu kata serapan.
Untuk soal Ramadhan vs Ramadan ini saya pinjam saja pendapat kawan saya Arfi Bambani yang beberapa waktu lalu menulis tentang hal ini. Menurut Arfi, Bahasa Indonesia ada kaidah-kaidahnya, misalnya tidak mengenal konsep konsonan “D” bertemu konsonan “H”. Namun bunyi kata-kata yang mengandung huruf “Da” bisa berbeda-beda, karena tergantung pada makna. Bunyi “dan” pada “Ramadan” akan berbeda dengan bunyi “dan” pada “Medan”.
Bentuk “dhan”, kata Arfi, tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia. Masalah dia harus dilafalkan tebal atau tidak, itu baru persoalan. Dan tidak perlu tambahan “H” untuk membuat bunyinya lebih tebal, cuma butuh kecerdasan. Bahkan jika tulisan “Ramadhan” ini dibawa ke negeri-negeri yang kental berbahasa Inggris seperti Malaysia atau Singapura, bisa-bisa mereka membacanya seperti ini, “ra-ma-dyan”. Mengapa? Karena konsonan yang bertemu konsonan “H” maka “H” akan dilafalkan seperti “Y”. Itulah sebab di Malaysia, Anda hanya menjumpai “Ramadan”.
Saya setuju dengan Arfi. Karena Ramadan ini serapan kata asing yang diindonesiakan. Kalau pakai argumen yang bener Ramadhan merujuk makna Bahasa Arabnya, itu justru salah kaprah. Karena ini kata yang diindonesiakan, bukan sekadar transliterasi.
Kalau sekadar transliterasi dari kata Arab, Ramadhan juga ada yang menyalahkan. Sebab yang benar adalah Romadhon. Pendapat ini misalnya diungkapkan oleh Tengku Zulkarnain (Baca di sini).
Memang banyak kata dari bahasa yang tulisannya bukan latin kemudian menjadi perdebatan soal transliterasinya ke latin, apalagi serapannya. Misalnya kata “Roso” dari Bahasa Jawa, yang pakai huruf Jawa, yang artinya kuat, ada yang menulisnya “Rosa”. Kata Puasa itu juga serapan dari kata Jawa Poso. Untung orang Jawa gak ada yang protes Poso diserap jadi Puasa. Banyak lagi contoh lainnya.
Maka di sinilah, menurut saya pentingnya konsensus yang dalam soal bahasa ada KBBI yang disusun oleh Pusat Bahasa yang ada di Rawamangun sana. KBBI memang bukan kitab suci, banyak salah kaprah juga di sana. Misal kalau yang terkait kata Arab yang diindonesiakan, ada kata “silaturahmi” yang kalau dirunut dari asalnya yang benar adalah “silaturahim”. Ini malah lebih jauh melesetnya dibanding Ramahan dan Ramadan.
Karena itu, menurut saya soal Ramadan ini daripada ribut, kita ikuti saja KBBI yang sesuai kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Perlu diingat bahwa ini soal penulisan, dan kata Bahasa Indonesia ini ditulis bukan dalam tulisan Arab. Toh “Ramadan” juga bisa dilafalkan “Ramadhan” seperti yang dijelaskan di atas.
Tapi kalau anda ngotot tetap mau nulis Ramadhan atau Romadhon yang silahkan. Gak akan ditangkep polisi atau satpol PP. Yang mau nulis Ramadan, juga gak akan disweeping FPI. Tenang. Aman semua. haha.
Marhaban ya Ramadan. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.