Riwayat Plagiat

Foto: halaman blog Nalar Ekonomi

Sejak dua hari yang lalu ada rame-rame soal plagiat di twitter. Saya pertama baca pada Rabu malam (7/9), dari twit @DeriCopter yang mengRT twit @robymuhamad: “kasus plagiarisme baru di Indonesia bit.ly/osdeNG”. Saya pun tertarik dengan twit tersebut dan membuat saya mengikuti kasus ini.

Biasanya saya jarang mau mengklik link twit seseorang, apalagi kalau saya baca via blackberry, kecuali jika link tersebut benar-benar penting atau menarik. Kasus plagiat menurut saya cukup penting. Bagi saya plagiarisme adalah masalah serius. Maka kemudian saya klik link trsebut.

Link itu ternyata mendarat ke tulisan “Plagiarisme atas Buku “How We Decide” di sebuah blog dengan nama Nalar Ekonomi. Awalnya, sebagaimana biasanya saya menanggapi sebuah tuduhan, saya tidak langsung percaya. Namun setelah saya baca seksana tulisan itu, jelas sekali tulisan itu membuktikan plagiarisme makalah “Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme” yang disampaikan Ryu Hasan (@ryuhasan) di Klub Sains Freedom Institute.

Tulisan di blog Nalar Ekonomi yang diupload Arya Gaduh itu sebenarnya hanya mengupload ulang tulisan Tirta Susilo. Tulisan itu memaparkan bahwa makalah Ryu menjiplak buku “How We Decide” karangan Jonah Lehrer. Celakanya makalah itu cuma sekedar menterjemahkan Bab 6 halaman 171-189 buku tersebut dan cuma mengganti judulnya saja. Di blog tersebut juga diberi foto komparasi kedua tulisan, yang asli dan hasil plagiatnya.

Saya pun malam itu juga tergerak meRT dan ikut menyebarkan kasus plagiat ini di twitter. Sebab menurut saya plagiarisme adalah sesuatu yang harus dilawan. Palagiarisme adalah tindak pencurian sama dengan korupsi. Bedanya korupsi mencuri uang, plagiat mencuri karya orang.

Akhirnya ramailah topik ini di twitter dan menambah panjang riwayat plagiat di dunia intelektual negeri ini. Meski sudah sangat ramai, namun @ryuhasan sebagai tertuduh tak kunjung merespon, meski banyak yang memention. Saya pun kemudian kembali ikut meramaikan di hari Kamis, dan responnya luar biasa, saya kebanjiran RT dan mention yang kebanyakan mendukung “perang” melawan plagiarisme ini.

Hari kamis itu juga rupanya @ryuhasan yang berprofesi sebagai seorang dokter itu menjawab masalah ini. Berikut jawabannya di timeline twitternya:

“Wadhuhhh! Baru sempat buka TL, akun saya seperti terkena gempa

Sebetulnya, tulisan itu benar2 saya comot utuh2 begitu saja dari bukunya Jonah Lehrer sebagai bahan diskusi

Setiap orang akan dapat dengan mudah tahu karena buku Jonah Lehrer ini sudah ada yg berbahasa Indonesia

Dalam seri pertama diskusi sains klub, kita mempromosikan beberapa buku untuk bahan bacaan salah satunya buku Jonah Lehrer ini

Dari diskusi2 kecil mingguan saya juga sangat sering mencomot begitu saja dari buku2 itu sebagai bahan diskusi

Tapi ada yg berbeda pada saat diskusi bulanan sains klub, disini saya melakukan kesalahan yg bisa dibilang fatal

Kesalahan saya yg pertama, naskah yg saya ketik dengan buru2 itu selain banyak salah ketik, tidak saya sertakan dicomot dari buku mana

Kesalahan saya yg kedua, saya terlewat tidak memberikan stroke/kredit kepada Jonah Lehrer selama diskusi

Kesalahan yg ketiga, saya tidak pernah minta kepada pihak @freedominst utk tidak meng up-load naskah itu bulat2

Jadi kesimpulannya, ini bukan salah2 siapa2 tapi memang kesalahan saya. Demikian

Dan karena kesalahan ada pada saya, saya minta maaf kepada semua pihak, siapapun juga.”

Pengakuan salah @ryuhasan dalam twitnya itu lantas memancing banyak respon. Ada yang mengapresiasi karena dia mau mengaku salah, namun banyak yang tetap menganggap dia tidak mengaku telah melakukan plagiat. Misalnya Goenawan Mohamad (@gm_gm) mengapresiasi karena yang bersangkutan mengaku salah dan minta maaf, berikut twitnya:

@ryuhasan Maju terus dgn ceramah ttg ilmu. Kesalahan yang diakui adalah kesalahan yang harus dilewati.”

Tapi bagi pihak yang tidak sependapat, twit @gm_gm itu terlihat sebagai dukungan bagi @ryuhasan yang memang di kenal “sekalangan” dengannya. Maka @gm_gm pun menuai sanggahan. Misalnya twit Paijo Hadikusumo (@pakpaijo):

@gm_gm @ryuhasan plis deh mas gun Plagiat kok dibelain..anda ini penulis bukan sih..plagiat itu sama dg nyolong om

@gm_gm selain itu mas Plagiat itu sama dengan Korupsi.. mas mau memaafkan koruptor?”

Lalu @gm_gm menjawab:

@pakpaijo Saya baca pengakuannya. Saya tak tahu dia terpaksa krn ketahuan atau tidak. Ttg koruptor: ada lembaga yg sah yg menentukan.

@pakpaijo Tafsir saya ttg pengakuan @ryuhasan berbeda dari tafsir anda. Mungkin saya salah, mungkin tidak. Kita tunggu @ryuhasansaja.”

Sampai tulisan ini dibuat, @ryuhasan belum memberikan jawaban kembali. Sementara pihak Freedom Institute @freedominst melalui Ulil Absar Abdala (@ulil) mengakui belajar dari kesalahan atas kasus tersebut. Beikut twit @ulil:

“Debat soal plagiarisme ini sangat bagus, sbg bagian dr pendidikan publik. Freedom Institute jg belajar dr kesalahan ini.”

Saya sendiri, sebagaimana banyak orang yang komentar atas kasus ini, cenderung tidak sependapat dengan @gm_gm. Bagi saya @ryuhasan hanya mengaku salah namun tidak mengakui bahwa dia melakukan plagiat. Hal itu terlihat di jawabannya tersebut. Seperti banyak kasus plagiat lainnya, dia mengaku “lupa” mencantumkan sumber. Ini bagi saya jawaban klise. Saya jadi ingat para tersangka korupsi yang sering “lupa” juga, misalnya Nunun dan Nazarudin.

Andaikata benar dia buru-buru lalu lupa menulis sumber, mengapa dia lupa juga menyebut penulis buku saat diskusi. Lebih-lebih lagi dia mengganti judulnya sehingga seolah itu makalah buatannya. Modus ini bukan modus baru, ini modus lama seperti yang biasa dilakukan mahasiswa yang malas membuat tugas lalu memilih plagiat.

Dia bahkan dengan tak sungkan-sungkan mengatakan biasa mencomot buku untuk diskusi. Terus terang saya kaget, masak dokter yang terkenal pandai, apalagi dia selama ini dicitrakan sebagai intelektual, bahkan menjadi narasumber klub sains, kok malas nulis makalah sendiri. Ada twit yang saya lupa siapa mengatakan “bikin makalah ilmiah lebih susah daripada disebut ilmuwan”.

Selain itu, pengakuan @ryuhasan yang dilakukan setelah dibuktikan dia plagiat dan didesak banyak orang juga membuktikan dia melakukan plagiarisme. Diskusi itu sudah lama berjalan (Juni lalu), mengapa baru ngaku sekarang, apa karena sudah terbukti telak. Makanya saya mengatakan di twit: mengaku dan terpaksa/dipaksa mengaku itu beda. Tapi biarlah, mengaku plagiat atau mengaku “lupa” toh dia sudah terbukti dan susah dibantah. Semua orang sudah melihat dan memberikan penilaian.

Lalu ada yang mention saya dan menanyakan mengapa saya menyerang @ryuhasan. Saya katakan pada dia saya tidak menyerang orangnya, saya menyerang tindakan plagiat atau plagiarisme. Karena menurut saya ini adalah kejahatan akademik yang serius. Plagiat sama dengan korupsi. Karena keduanya sama-sama nyolong.

Kemudian ada juga yang bertanya, kalau terbukti plagiat memangnya apa hukumannya. Terus terang soal ini saya tidak tahu pasti. Kalau dulu, saat kuliah di Fakultas Filsafat UGM dosen saya menceritakan ada alumni yang dicabut gelarnya karena terbukti di kemudian hari skripsinya hasil plagiat. Meski sudah lama lulus, karena plagiat adalah kejahatan akademik serius, maka gelarnya tetap dicabut. Riwayat serupa juga banyak terjadi di universitas lainnya.

Itu bukti bahwa plagiat ini serius dlingkungan akademik, para ilmuwan, intelektual, atau bagi orang biasa yang cinta ilmu seperti saya. Mungkin dalam kasus @ryuhasan tidak ada sanksi akademik dan sebagainya, tapi sanksi sosial yang akan didapatnya. Kredibilitasnya dipastikan akan menurun, paling tidak akan dipertanyakan. Ini terbukti dari twit-twit yang beredar soal itu.

Kasus ini menambah panjang riwayat plagiat. Ini mungkin juga merupakan riwayat plagiat paling ramai yang ada di twitter publik Indonesia sampai saat ini. Mari kita ambil hikmah atas kasus ini. Mari kita sama-sama perangi plagiarisme jika kita cinta ilmu dan dunia intelektual. Plagiat adalah penyakit berbahaya seperti halnya korupsi. Seperti halnya pejabat yang jadi koruptor, intelektual yang jadi plagiator juga akan bernasib sama. Twit sahabat saya @zuhairimisrawi menggambarkan dengan baik bahaya plagiat: “menulis ibarat tirakat, butuh kejernihan pikiran dan hati. Sekali plagiat, maka derajat keilmuannya runtuh.”

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *