Sabuk Inten, Melesat Karena Cerita Silat

Selain Keris Empu Gandring, keris lain yang sangat dikenal dan populer di masyarakat adalah Keris Nagasasra dan Keris Sabuk Inten. Bahkan mereka yang tidak paham keris pun kenal dua keris ini.

Dua keris itu terkenal gara-gara S.H. Mintardja. Pionir cerita silat asal Yogyakarta ini di tahun 60an membuat cerita silat klasik populer berlatar sejarah dengan judul ‘Nagasasra dan Sabuk Inten’. 

Cerita silat ini pada awalnya merupakan cerita bersambung di koran Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta. Kemudian dibukukan dan terus dicetak sampai tahun 90an. Bahkan sampai jadi sandiwara radio, dan saat saya kecil, orang tua saya kerap mendengarkan cerita ini di radio di rumah.

Judul ‘Nagasasra dan Sabuk Inten’ diambil dari cerita hilangnya dua keris pusaka Demak yaitu Keris Nagasasra dan Keris Sabuk Inten. Dengan piawai S.H. Mintardja kemudian membangun cerita silat yang seru dan bertahan lebih dari tiga dekade. 

Maka tak heran nama Nagasasra dan Sabuk Inten jadi terkenal dan melekat di benak masyarakat. Meski demikian, masyarakat kebanyakan hanya kenal namanya saja, tapi tidak kenal detail kerisnya.

Kalau Keris Nagasasra mungkin banyak yang tahu. Minimal secara umum, yaitu keris yang ada ukiran naga pada bilahnya. Sementara Sabuk Inten, tidak banyak yang tahu.

Lalu apa itu Keris Sabuk Inten?

Seperti Nagasasra, Sabuk Inten adalah salah satu varian dhapur keris. Sabuk Inten masuk varian dhapur luk 11 dengan ricikan yang lengkap, yaitu kembang kacang, jalen, lambe gajah, tikel alis, pejetan, sogokan rangkep, srawean, dan grenengan.

Nama Sabuk Inten sendiri artinya sabuk intan atau sabuk yang berhiaskan intan. Intan adalah permata atau batu mulia yang indah dan sangat keras. Karena berharga dan mahal harganya, intan kemudian menjadi simbol kemewahan. Maka sabuk dari intan atau bertabur intan merupakan simbol kemakmuran atau kesejahteraan. 

Ada juga pendapat atau tafsir bahwa sabuk atau ikat pinggang adalah simbol laku prihatin. Seperti istilah kencangkan ikat pinggang, yang saat ini masih populer untuk laku prihatin. Maka sabuk dari intan melambangkan kerja keras atau keprihatinan dan pengorbanan yang dibutuhkan untuk meraih kesejahteraan atau kemuliaan.

Sementara luk sebelas atau suwelas bermakna kawelasan atau welas asih. Maka dalam kesejahteraan atau kemuliaan tetap harus bersikap welas asih pada sesama.

Karena merupakan simbol kesejahteraan atau kemuliaan, maka dhapur ini dahulu lekat dengan raja atau keluarga kerajaan. Juga para saudagar atau orang kaya. Misalnya dalam cerita legenda soal keris Majapahit, Sabuk Inten juga muncul.

Ceritanya salah satu keris pusaka Majapahit yaitu Keris Condong Campur selalu muncul terbang di malam hari dan menebar wabah penyakit ke seantero negeri. Maka kemudian dihadirkan Keris Sabuk Inten dan Keris Sengkelat (versi lain Keris Nagasara) yang tampil untuk mengalahkan. Setelah Keris Condong Campur kalah, maka wabah hilang dan kehidupan kembali pulih.

Soal cerita ini, saya setuju dengan sahabat saya Ustaz Salim A. Fillah, bahwa itu adalah perlambang atau kiasan. Di mana Keris Condong Campur adalah gambaran Majapahit yang saat itu mencampur berbagai keyakinan atau agama, sementara Sengkelat adalah lambang kemarahan rakyat yang sakit hatinya atau mulai tidak setuju dengan kebijakan pemerintahannya. 

Sementara Sabuk Inten adalah gambaran para saudagar pesisir yang turut beroposisi dan memerangi Majapahit. Sabuk Inten mewakili para saudagar kaya yang berpakaian mewah dan sabuknya bertaburkan intan.

Cerita legenda juga cerita tulis babad memang banyak memakai kiasan atau sanepan. Perlu ditarsirkan dengan menyandingkannya bersama fakta sejarah.

Sabuk Inten dalam perjalanannya memang menjadi dhapur keris yang cukup banyak dipakai. Selain diyakini merupakan salah satu keris pusaka Kesultanan Demak, Sabuk Inten juga masih jadi pilihan raja di era kemudian. Misalnya Pakualaman (PA) yang saat ini memiliki keris pusaka utama Kanjeng Kiai Bontit yang ber-dhapur Sabuk Inten. 

Kembali ke ‘Nagasasra dan Sabuk Inten’ karya S.H. Mintardja, kita melihat bagaimana sebuah cerita silat bisa membuat nama keris melesat. Ini mungkin bisa ditiru di masa kini untuk mempromosikan keris dan berbagai aspeknya.

Jika dulu melalui cerita silat, mungkin saat ini bisa melalui film, atau media lainnya. Tapi tentu saja filmnya yang benar dalam menggambarkan keris, bukan seperti di film-film saat ini di mana keris tergambarkan sebagai benda perdukunan, seram, bahkan bisa gerak sendiri membunuh orang atau pemiliknya. 

Kalau terus terusan begitu, alih-alih membuat generasi muda penerus suka keris, justru malah akan menjauhkan dan membuat antipati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *