Dirgahayu. Sebuah kata yang ramai diucapkan atau dituliskan saat bulan Agustus tiba setiap tahunnya. Setiap momentum peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tiba, kata Dirgahayu akan muncul pada spanduk, baliho, gapura, desain grafis, sampai postingan di media sosial.
Banyak orang yang pernah membaca bahkan memakai kata Dirgahayu terkait peringatan ulang tahun proklamasi. Namun tidak banyak orang yang tahu bahwa kata itu digunakan dengan salah kaprah. Anda tentu akrab dengan kalimat seperti ini: “Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 (atau angka lain)”. Tapi tidak tahu bahwa itu salah.
Lalu salahnya di mana? Salahnya ada pada: ke-70 (atau angka lainnya), karena dengan itu kata Dirgahayu seolah berarti selamat ulang tahun. Mereka yang memakai kata ini mayoritas juga mengira itu artinya selamat ulang tahun. Bagi mereka Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 seolah berarti Selamat Ulang Tahun Republik Indonesia ke-70, padahal Dirgahayu artinya bukan selamat ulang tahun.
Lalu apa arti kata Dirgahayu? Karena ini soal penggunaan Bahasa Indonesia, mari kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI inilah arti Dirgahayu: berumur panjang (biasanya ditujukan kpd negara atau organisasi yg sedang memperingati hari jadinya): — Republik Indonesia, panjang umur Republik Indonesia. Kata Dirgahayu sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua buah kata yaitu Dirga yang artinya hidup dan Rahayu yang artinya langgeng. Jadi jelas di sini bahwa arti kata Dirgahyu yang tepat adalah berumur panjang atau panjang umur.
Dengan demikian, kalimat Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 menjadi salah. Karena itu dengan kata lain menjadi Berumur Panjang Republik Indonesia ke-70. Aneh kan? Lain cerita kalau kalimatnya begini: Dirgahayu Republik Indonesia, atau Dirgahayu Indonesiaku, atau Selamat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-70. Karena sekali lagi ke-70 atau ke sekian itu cocoknya dengan hari ulang tahun dan bukan dengan berumur panjang.
Tapi rupanya kesalahan penggunaan kata Dirgahayu ini sudah menjadi salah kaprah. Salah yang sudah terjadi berulang dan lama, sehingga dianggap seolah benar. Salah kaprah ini dilakukan dari orang biasa sampai pejabat negara, dari lembaga tingkat RT sampai lembaga negara. Berikut beberapa contohnya:
Bank Mandiri dalam akun twitternya @bankmandiri:
“Berkibarlah Benderaku, madirilah Indonesiaku. Dirgahayu RI ke 70 #IndonesiaMandiri bit.ly/MandiriHUTRI”
Garuda Indonesia dalam desain grafisnya:
“Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 Bakti Kami Untuk Para Pejuang Bangsa”
Kepolisian dalam spanduknya:
“Dirgahayu Republik Indonesia ke – 70 Tahun 2015”
Universitas Katolik Parahyangan dengan bannernya:
“Dirgahayu Republik Indonesia ke-70 Tahun”
Media Kompas.com dalam twitternya @kompascom:
“Dirgahayu Indonesia ke 70. Majulah terus bangsaku, majulah Indonesia! #AkuIndonesia #CintaIndonesia #RI70”
Itu hanya beberapa contoh saja. Di masyarakat umum atau lembaga lainnya sangat banyak kesalahan serupa. Namun yang membuat saya sedih, kesalahan yang sama juga dilakukan pemimpin bangsa ini. Ibu Negara Iriana Jokowi dalam akun twitternya juga melakukan kesalahan yang sama. “Dirgahyu Republik Indonesia ke-70” tulis Ibu Negara dalam akun @IrianaJokowi yang diposting bersama logo HUT 70 Tahun RI. Hal yang sama ternyata juga dilakukan Presiden Jokowi. Dalam video ucapan di sela-sela acara Dialog Spesial Metro TV dengan presiden dan perwakilan masyarakat tadi malam, Jokowi juga mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke-70.
Jokowi dan Iriana bukan yang pertama. Presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah melakukan kesalahan serupa. Tahun lalu dalam banner/cover di facebook resminya SBY juga membuat kesalahan serupa. Jadi salah kaprah dalam berbahasa Indonesia ini dilakukan secara berjamaah oleh pemimpin, lembaga negara, media, sampai masyarakat bawah. Lengkap lah sudah.
Salah kaprah berjamaah ini juga seolah terus dipelihara dan menjadi tradisi yang berulang setiap tahun, tanpa ada upaya perbaikan. Padahal kalau pemerintah mau serius memperbaiki dengan menunjukkan mana yang benar dengan sebuah sosialisasi. Ini bisa dilakukan lembaga bahasa yang ada di Kementrian Pendidikan, atau instansi serupa. Penggunaan kata Tiongkok untuk ganti kata Cina saja bisa disosialisasikan dan kemudian digunakan secara konsisten oleh lembaga dan media (lalu masyarakat juga mengikuti), kenapa kata kata Dirgahayu tidak?
Jika pemerintah mau melakukan koreksi lalu mensosialisasikan pemakaian kata Dirgahayu yang benar, maka kesalahan yang sama kemungkinan tidak akan terulang, atau minimal mengurangi. Jika tidak ya kesalahan yang sama akan terus terulang dan berumur panjang.
Dirgahayu Salah Kaprah…
Jakarta, 18 Agustus 2015
ikut share dong om,