Kenapa harus berpoligami jika satu istri saja cukup? :). Kalimat itu tertulis di kertas yang dipegang seorang wanita berkerudung dan bercadar di sebuah video. Wanita ini juga menulis kalimat lainnya tentang curahan hatinya di kertas sebagai ganti suara.
Wanita itu bernama Ana Abdul Hamid yang berbagi kisah melalui video tentang pengalaman dan perasaannya sebagai istri yang suaminya berpoligami. Video Ana ini kemudian menjadi viral atau tersebar luas di dunia maya.
Menyebarnya video itu pun kemudian diikuti dengan mencuatnya kembali polemik mengenai poligami. Isu poligami kembali menghangat di media sosial, tentu saja disertai perdebatan pro dan kontra yang cukup sengit.
Bahkan ada juga yang menyebarkan video tandingan. Isinya tentang seorang ustaz yang beristri empat orang. Uniknya, masing-masing istrinya memberikan tenstimoni yang intinya kebalikan dari video “Saya tidak sanggup berbagi”.
Poligami memang salah satu isu yang seksi untuk dibahas dan diperdebatkan. Banyak yang pro dan yang kontra atas masalah ini. Isu ini sejak dulu memang selalu mudah memantik perdebatan yang panas dan panjang.
Namun tulisan ini, tidak hendak mengulangi pro-kontra atau perdebatan yang ada tentang poligami. Selain sudah banyak yang menulis atau membahas, saya juga tidak terlalu kompeten untuk membahas isu tersebut.
Di sini saya hanya hendak menyoroti beberapa salah kaprah yang kerap muncul saat isu ini diperbincangkan atau diperdebatkan. Misalnya anggapan banyak orang bahwa seolah Islamlah yang membudayakan poligami. Lalu poligami pun kemudian diidentikkan dengan Islam.
Padahal sebelum Islam datang, di masyarakat dari berbagai peradaban dunia sudah ada poligami. Maka salah kaprah juga jika dikatakan bahwa Islam yang membudayakan poligami.
Selain itu, banyak juga yang memahami aturan poligami dalam Islam muncul sebagai aturan untuk menambah istri. Padahal aturan poligami Islam yang membolehkan beristri maksimal empat orang itu, justru keluar untuk membatasi jumlah istri. Sebab dahulu sebelum ada aturan ini, orang beristri dengan jumlah yang tidak terbatas. Bahkan ada yang puluhan atau ratusan.
Lalu oleh Islam poligami diberikan batasan. Yang awalnya jumlah istri bisa tak terbatas, akhirnya hanya dibatasi maksimal empat orang saja. Jadi aturan poligami Islam itu hadir untuk membatasi, bukan menambah. Ini yang sering salah kaprah baik bagi pihak yang pro, apalagi yang kontra.
Komparasi yang bagus adalah kisah OC Kaligis. Pengacara kondang ini beberapa waktu yang lalu menghiasi pemberitaan media saat dirinya berurusan dengan KPK. Namun yang banyak disorot justru jumlah istrinya yang 10 orang. Bahkan dari 10 orang Istri ini, ada yang kakak beradik (ini dilarang dalam Islam). Jika aturan poligami Islam tidak membatasi, mungkin akan banyak orang Islam yang istrinya sebanyak OC. Sekarang silahkan dikomparasikan aturan poligami Islam dengan poligami model OC Kaligis.
Itu penting dipahami agar mengerti konteksnya. Namun saya juga tidak akan membahasnya lebih panjang lagi. Saya akan melanjutkan membahas salah kaprahnya. Kali ini yang saya akan soroti adalah soal salah kaprah pemakaian istilah.
Dalam perdebatan soal poligami salah kaprah pemakaian istilah ini selalu muncul. Selama ini istilah poligami dipahami oleh mayoritas masyarakat sebagai pernikaha satu lelaki dengan lebih dari satu/banyak wanita. Pemahaman ini sebenarnya tidak salah, namun kurang tepat. Bahkan menjadi salah fatal saat istilah poligami dilawankan dengan istilah poliandri, sebagaimana yang jamak dilakukan khalayak.
Poligami itu artinya adalah pernikahan satu orang dengan lebih dari satu atau banyak orang. Poligami sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu: poligini, poliandri, dan pernikahan kelompok (group marriage).
Poligini adalah perkawinan di mana satu pria menikahi beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. Sementara poliandri sebaliknya, yaitu pernikahan di mana seorang wanita menikah dengan beberapa pria dalam waktu yang bersamaan. Contoh terkenal tentang poliandri adalah kisah Drupadi yang menikahi lima orang Pandawa. Sementara pernikahan kelompok adalah kombinasi antara poligini dan poliandri.
Maka sampai di sini sudah terlihat selama ini terjadi salah kaprah pemakaian istilah poligami. Sebenarnya menyebut poligini sebagai poligami sebagai mana sering dilakukan banyak orang selama ini tidak salah. Sebab poligini juga termasuk poligami.
Namun jika istilah poligami disebut sebagai lawan dari poliandri itu salah. Sebab poliandri itu juga bagian dari poligami. Kesalahan ini terjadi karena orang salah kaprah menganggap satu pria menikah dengan banyak wanita itu poligami dan lawan atau kebalikannya adalah poliandri.
Contohnya, kita sering mendengar kalimat seperti ini: “Kalau poligami boleh, poliandri bolehkan juga dong!”.
Kalo kita lihat arti istilah di atas, sudah jelas bahwa poliandri bagian dari poligami, kalau poligami boleh berarti ya poliandri dan pernikahan kelompok boleh juga. Kalimat yang bener seharusnya begini:
“Kalau poligini boleh, poliandri bolehkan juga dong!”
Nah sekarang sudah tahu kan istilah yang benarnya seperti apa. Jangan sampai mengulang kesalahan yang sama menggunakan istilah poligami sebagai lawan dari poliandri ya. Oke, silahkan dilanjutkan debatnya soal poligami, tapi dengan istilah yang benar ya, jangan salah kaprah lagi.
Tapi sebelum debat lagi soal poligami, ada baiknya menengok kembali perdebatan soal poligami yang terjadi tempo dulu di antara Bapak Bangsa Indonesia: Soekarno dan M Natsir.
Saat itu, Soekarno tidak setuju dan mengkritik poligami secara terbuka. Natsir sebagai seorang politisi muslim membela poligami. Lalu waktu berjalan, Soekarno yang awalnya anti, belakangan ternyata berpoligami, sementara Natsir tetap setia dengan seorang istri.