Sang Naga dari Sumatra

Hulu ini adalah salah satu hulu keris yang banyak digunakan pada keris Sumatra. Dari bentuknya sekilas mungkin orang akan menyangka itu adalah stilisasi seekor burung.

Ini karena sosoknya yang memang berhidung panjang mirip paruh burung. Tetapi jika melihat bentuk badannya yang bersisik dan tanpa gambaran sayap, akan disadari bahwa itu bukan menggambarkan sosok burung.

Hulu ini disebut sebagai Hulu Luday. Luday memang bukan seekor burung melainkan mahluk air. Ada yang berpendapat dia sejenis ular, naga air, ada juga yang bilang dia sejenis belut besar, seperti belut moray.

Ada yang meyakini dia sejenis hewan mitologis, yang memiliki kekuatan magis tertentu. Ada pula yang meyakini dia hewan biasa yang memang hidup di perairan baik sungai maupun laut di sekitar Lampung dan Palembang di mana hulu ini banyak dipakai.

Di Lampung yang diduga sebagai asalnya, Luday adalah seekor hewan mitologi berwujud naga. Naga Lampung ini selalu muncul menjadi ukiran atau hiasan istana raja di sana.

Misalnya pada istana raja atau Lamban Gedung Paksi Pak Skala Brak, Buay Pernong. Ukiran Luday ini terdapat pada tiang penyangga Lamban Gedung dan pada sisi depan bawah pembatas lepau atau teras (Kadafi & Rizka, 2023: 226).

Tak hanya di Istana, pada rumah adat Lampung lainnya juga terdapat ornamen Luday. Pada rumah adat Lampung yang bergaya arsitektur neo-vernakular, yaitu berbentuk bujur sangkar dengan atap bubungan tinggi dan ditopang oleh struktur kayu, ornamen Luday selalu hadir. Luday hadir bersama ornamen khas Lampung lainnya seperti aksara kuno Lampung, gajah, ukiran kapal, dan Siger Lampung (Wiranto & Alexander, 2021).

Luday pada ornamen istana atau rumah adat di Lampung ini wujudnya seperti naga Eropa dengan empat kaki, namun tanpa sayap. Agak berbeda bentuk dengan Luday pada hulu keris. Ini mungkin karena pada hulu keris, stilisasi Luday juga mengakomodasi aspek fungsional sebagai gagang atau handle keris dan fungsi estetis berbeda yang mengikuti fungsinya.

Ini terbukti juga dari wujud Hulu Luday Palembang yang bentuknya juga berbeda dengan Hulu Luday Lampung. Pada Hulu Luday Palembang, bentuk badannya dan ornamenya seperti Hulu Jawa Demam. Selain itu moncongnya juga lebih runcing.

Namun meski berbeda keduanya merujuk pada hewan yang sama yaitu Luday atau naga yang hidup di perairan. Pengaruh Luday dari Lampung tak hanya ke Palembang yang berbatasan dengan Lampung, tapi juga ke kawasan Sumatra lainnya seperti Jambi.

Hulu Luday di Jambi ini bentuknya juga memiliki kekhasan sendiri yang ada pembedanya dengan hulu serupa dari Lampung atau Palembang. Di Jambi, hulu ini bahkan dipakai pada dua keris legendaris Kesultanan Jambi yaitu Keris Si Ginjei dan Singa Merjaya.

Keris Si Ginje merupakan keris pusaka Sultan, sementara Singa Merjaya merupakan keris yang dipegang putra mahkota atau pangeran yang akan menjadi Sultan selanjutnya. Ini seperti keris KKA Kopek dan KKA Joko Piturun di Yogyakarta.

Tak hanya di Sumatra, Hulu Luday bahkan sampai ke tanah sebrang yaitu di Cirebon. Hulu Luday dari Lampung ini juga ditemukan di Cirebon dan di daerah-daerah yang dulu merupakan wilayah kesultanannya. Ini tak lepas dari interaksi budaya dan hubungan kedua daerah ini di masa lalu. Bahkan Cirebon dan Lampung mengaku memiliki ikatan persaudaraan.

Hubungan Cirebon dan Lampung berawal saat Sultan Syarif Hidayatullah yang melakukan penyebaran Islam dan sempat singgah di Lampung dan menikahi perempuan Lampung bernama Ratu Sinar Alam. Sultan Cirebon ini juga membawa warga Lampung untuk menyebarkan Islam dan melawan penjajah di kawasan Banten. Cirebon dan Lampung juga saling membantu saat mendapat serangan musuh. Hal itu bahkan ditegaskan kembali saat tahun 2007 Mejelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang dipimpin Gubernur Lampung saat itu yaitu Sjahroedin berkunjung ke Keraton Kanoman dan Kesultanan Kasepuhan Cirebon, dan Kesultanan Banten (Setiawan ZS, 2008).


Meski bentuknya berbeda-beda, baik yang di ornamen bangunan, hulu Lampung, Palembang, Jambi, sampai Cirebon, semua merujuk pada sosok yang sama yaitu Luday. Karena minimnya referensi mengenai Luday ini, perlu juga kita mencermati informasi tutur orang-orang sekitar di mana Luday dan Hulu Luday ini berada.

Berikut adalah informasi tersebut yang saya himpun dari diskusi soal Hulu Luday di group Warung Kopi Ganjawulung yang dipantik oleh tulisan singkat Pak Jimmy tentang Hulu Luday:

“Luday adalah Binatang seperti Belut Morai laut dan Luday bisa hidup di air tawar dan asin Hulu luday ini biasanya di pakai untuk keris keris bahari yg melambangkan sebagai pelaut pelaut ulung yang bisa menyeberangi darat dan laut seperti halnya binatang luday tersebut..

..Sebagian orang palembang seperti kayu agung ,komering itu adal usulnya mereka satu dengan orang lampung rata rata memakai juga hulu luday” (Kesuma Dewangsa).

“..dalam pemahaman adat Paksi Bejalan Di Way (salah satu Paksi di Kerajaan Skala Brak) di Lampung Barat, Ludai adalah sejenis ular besar yg dibuatkan menjadi makanan dg cara fermentasi, hal ini lakukan pada zaman purba dulu (dinamakan Bekasom/Kembahang). Kalau skrg bekasom dibuat dari telur ikan, tapi tetap tujuan tdk berubah yakni makanan khusus dihidangkan saat upacara adat (Nayuh) tp bukan hanya di Paksi tsb tp sdh umum dilakukan di lampung barat & sepanjang pesisir lampung.

Dulunya, makanan tsb disiapkan & akan dihidangkan untuk menyambut keluarga jika salah satu keturunan Paksi tsb (yakni Jurai Abung gelar Ratu Dipuncak) pulang ke rumah.

Karena hal tsb, maka diabadikan dg dibuatkan stilir hulu keris bentuk Ludai.
Jadi bisa mengandung makna untuk mengingatkan sanak keturunan yg sudah jauh merantau agar tetap ingat asal sejarah keturunan & tetap diharapkan keluarga besar utk pulang.” (Joen Joen).

“Hulu ludai.atau yg terkenal di daera saya ludey.iyalah sosok ular besar yang tak bisa bergerak lagi badan ular tersebut di tumbuhi pohon kecil2 dia memangsa hewan2 hanya menghisap jarak 2 meter saja.itu la cerita dari kakek moyang saya asli palembang darussalam” (Robi Putra Sriwijaya)

“Cirebon juga punya hendel seperti itu kadang ada yg klem itu punya Palembang atau atau lampung,seya sendiri sering menjupai hendel itu banyak di daerah kuningan Dan kebetulan hendel itu dari kuningan cirebon, ada yg meyebut manuk bencek, atau semutan, kata pemayung agung itu sosok burung puyuh.” (Dewa Rengkas).

Itulah informasi sekilas mengenai Hulu Luday. Hulu yang menggambarkan Sang Naga dari Sumatra. Sosok naga yang berbeda dengan naga Jawa maupun naga China. Sosok naga air yang menyimbolkan pemiliknya hidup dalam budaya bahari atau yang dekat dengan perairan seperti sungai-sungai besar.

Dari Hulu Luday ini kita bisa melihat betapa jeniusnya leluhur kita dalam mengawinkan makna dan estetika dalam sebuah hulu keris pusaka. Sehingga hulu keris bukan hanya sekadar pegangan (handle) semata, tetapi ada makna yang tersemat di dalamnya. Hulu Luday juga menunjukkan betapa kayaknya khasanah hulu keris atau pusaka Nusantara.

•••

DAFTAR PUSTAKA

Harianto, Jimmy S. (2017). Hulu Luday. Diakes pada 18 Desember 2024 dari https://www.facebook.com/share/p/1Ezwv9RP9f/?mibextid=K35XfP

Kadafi, Muchammad Rizky & Annisa Rachimk Rizka (2003). Kajian Visual Ornamen Pada Lamban Gedung Kepaksian Buay Pernong Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Dalam DESKOVI: Art and Design Journal, Volume 6, Nomor 2, Desember 2023, hal. 223-227.

Setiawan ZS, Isbedy (2008). Persaudaraan Cirebon-Banten-Lampung sudah berlangsung 450 Tahun. Diakes pada 18 Desember 2024 dari http://isbedystiawanzs.blogspot.com/2008/05/persaudaraan-cirebon-banten-lampung.html?m=1

Wiranto, Audrey Aulivia & Hilda B Alexander (2021). Konsep Neo-Vernakular Rumah Adat Lampung, Sarat Ornamentasi. Diakses pada 17 Desember 2024, dari https://properti.kompas.com/read/2021/08/17/160000721/konsep-neo-vernakular-rumah-adat-lampung-sarat-ornamentasi?page=all.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *