Steve Jobs: Memaknai Kehidupan dengan Kematian

Pagi ini, seperti biasa saya mengawali hari dengan membuka dan membaca kicauan di twitter. Rupanya ada kabar besar yang tersiar luas di sana yaitu berita meninggalnya Pendiri Apple Steve Jobs. Banyak orang yang berkicau mengenai kabar ini, atau sekedar mengRT kabar mengenai ini.

Tak lama kemudian berita mengenai meninggalnya Steve Jobs pun menjadi headline di mana-mana. Baik social media maupun mainstream media sama ramainya memberitakan soal ini. Bahkan orang yang tak kenal siapa Steve Jobs pun jadi penasaran dan mencari tahu karena ramainya pemberitaan mengenai kematiannya.

Di website Apple, foto Jobs dipajang penuh dengan nama dan tahun hidupnya. Apple juga mengaku kehilangan seorang yang kreatif, jenius, dan visioner. Semangat Jobs, akan selalu menjadi pondasi utama perusahaan itu. Apple juga menyediakan email bagi mereka yang ingin mengenang Jobs di rememberingsteve@apple.com.

Saya sebenarnya kurang tahu secara detail mengenai Steve Jobs dan kehidupannya. Selama ini saya hanya mengenal dia sebagai orang hebat yang membuat Apple. Kebetulan, saya penggemar berat gadget buatannya itu, dari sejak iPod lama sampai sekarang memakai iPad.

Justru dari berita kematiannya itu, saya jadi mencari tahu lebih dalam mengenai Steve Jobs. Berbagai sumber saya baca dan saya menemukan bahwa kehidupan dan pemikiran Jobs memang sangat luar biasa.

Pria kelahiran San Francisco 24 Februari 1955, ini lebih memilih drop out dari kuliahnya dan mendirikan Apple dari garasi rumahnya dan membangunnya hingga menjadi perusahaan yang sangat besar. Dia sempat terdepak dari perusahaan yang didirikannya itu pada 1984. Namun riwayat Jobs tak berakhir di sini, dia justru mendidikan  mendirikan NeXT dan Pixar. Pixar ini adalah perusahaan yang membuat film animasi komputer pertama yang cukup terkenal yaitu Toy Story.

Kemudian pada tahun 1996 Apple membeli NeXT dan membuat Jobs “pulang kandang”. Dia lalu menjabat sebagai CEO Apple sejak 1997 hingga 2011. Di tangannya, Apple yang nyaris bangkrut kembali bangkit dan menjadi perusahaan dengan laba yang sangat tinggi. Bahkan sampai saat ini Apple dikenal sebagai perusahaan yang selalu terdepan dalam inovasi dan tren gadget.

Bagaimana Jobs bisa menjadi orang yang besar dan melahirkan pemikiran dan karya besar? Ini semua tak lepas dari pelajaran dari lika-liku hidupnya. Dia mengatakan bahwa keterpurukan dalam hidupnya, mulai dari hidup prihatin yang dijalaninya di masa muda sampai saat didepak dari Apple, memberikan pelajaran berharga baginya untuk menjadi lebih baik.

Tak hanya berlajar dari memaknai hidup, Steve Jobs juga mengaku belajar dari kematian. Dalam ceramahnya yang terkenal di depan wisudawan Universitas Stanford, AS, Juni 2005 silam, dia bahkan mengatakan dirinya memaknai kehidupan dari kematian. Ingat mati membuatnya lebih produktif dalam hidup.

“Mengingat saya akan akan segera mati merupakan hal yang paling penting untuk membantu saya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup,” katanya.

Dia juga mengingatkan bahwa kehidupan ini terbatas, manusia tak selamanya hidup. Karena itu mumpung ada waktu, lakukan hal terbaik yang kita bisa dan yang kita mampu.

“Jangan menyia-nyiakan waktu kita yang terbatas dengan dengan bergantung pada kehidupan orang lain,” pesannya.

Steve Jobs tidak hanya asal berpesan, dia membuktikan sendiri bahwa dia berhasil memaknai kematian yang mengancamnya dan menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik. Hidup dengan optimisme membuat dia lebih lama menjalani hidup. Jika kebanayakan orang dengan kaker pankreas hanya mampu hidup sekitar lima bulan, Jobs mampu bertahan sampai tujuh tahun. Tentunya tidak hanya sekedar bertahan hidup, namun juga melahirkan karya yang monumental.

Pesan Steve Jobs itu terdengar begitu religius. Bagi orang Islam, tentu sering mendengar pesan Nabi Muhammad bahwa hidup ini terbatas, maka banyak-banyaklah melakukan amal kebaikan untuk bekal di akhirrat nanti. Ingat mati bisa membuat kita menjalani hidup dengan lebih berarti dan tak menyia-nyiakannya.

Maka berkaryalah. Jangan menunda melakukan sesuatu, karena siapa tahu sudah tak banyak waktu. Lalu bagaimana jika ternyata masih banyak waktu? Artinya kita bisa berkarya lebih banyak lagi. Seperti yang telah dicontohkan Steve Jobs. Selamat jalan Steve.

Inilah video ceramah Steve Jobs di Stanford:

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *