Suatu pagi saya melihat tali dari benang tebal dililitkan di perut seorang bayi. Tali yang melilit longgar itu lalu diikat dengan simpul mati sehingga tali tersebut akan selalu terlilit di sana dan tidak bisa lepas kecuali dipotong.
Kepada nenek-nenek yang melilitkan saya bertanya tali apakah itu? Lalu apa fungsinya, sehingga dipasang melilit di perut sang bayi?
Sang nenek menjawab bahwa itu adalah kendit. Dipasang agar si bayi tidak ngompolan dan res-resen atau terasa ingin buang air kecil terus, yang membuat rewel.
Itulah pertama kalinya saya bersinggungan dengan kendit. Belakang saya tahu bahwa kendit ini sangat akrab dengan budaya Jawa.
Kendit banyak muncul dalam ritual dan tradisi masyarakat Jawa sejak lama. Baik kendit secara harfiah yang berbentuk tali yang melilit melingkar atau ikat pinggang dari benang atau kain, maupun kendit yang muncul berupa pola atau simbol.
Kendit dalam bentuk harfiah misalnya tali kendit yang dipake untuk terapi ngompol bayi tadi. Atau tali kendit dari kain tertentu yang dililitkan ke pohon sebelum ditebang, dan lain sebagainya.
Sedangkan kendit dalam bentuk motif misalnya motif kendit yang muncul melilit di perut kambing, motif kendit yang melilit bagian tengah di tumpeng, sampai motif kendit yang melilit di kayu warangka keris atau pusaka lainnya.
Kendit baik harfiah maupun motif sama-sama punya filosofi atau makna yang mendalam. Selain bermakna mengikat, kendit juga bermakna sebagai pelindung. Ikatan kendit bermakna pagar yang melindungi dari bahaya dan anasir buruk. Simbolisasi doa atau permohonan perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Tak hanya kendit secara harfiah, kendit dalam bentuk motif pun sama maknanya, dan bagi yang percaya tuah, sama tuahnya. Maka motif kendit pun kemudian membuat yang ditempel atau dililitnya menjadi lebih berharga.
Kambing kendit contohnya. Kambing hitam yang di perutnya ada belang putih melingkar ini, harganya bisa naik berkali lipat dibanding kambing sejenis. Sebab selain jarang, kambing yang terlilit kendit juga memberi makna atau dipercaya bisa mendatangkan tuah untuk ritual tertentu. Contohnya dulu jika akan membangun rumah, sebelum pertunjukan wayang, sampai pengobatan, ada ritual penyembelihan kambing kendit.
Di pohon juga sama. Orang Jawa dulu sebelum menebang pohon biasanya melilitkan kain kendit juga. Kainnya kain cinde atau kain mori. Di Bali, kain kendit poleng juga banyak dilingkarkan di pohon.
Hal yang sama juga ada di batu akik. Batu akik yang ada motif kenditnya juga lebih berharga dari batu sejenis. Demikian pula di warangka, yang pernah saya bahas di tulisan sebelumnya.
Jadi semua yang ditempeli motif ini menjadi istimewa dan lebih bernilai. Tentu saja harganya juga ikut menjadi lebih mahal dibanding hal yang tidak ada kenditnya.
Fakta ini mematahkan asumsi bahwa kendit itu bernilai bukan dari motifnya tapi dari medium yang ditempelinya. Maka saya tidak sepakat jika hanya karena pakem warangka tertentu yang menyatakan kendit bertuah jika dikayu tententu, lantas disimpulkan bukan motif kenditnya yang berharga. Karena beda daerah bisa beda mana kayu yang dianggap berharga. Bahkan sama daerah dan beda zaman pun bisa tidak sama.
Selain itu fakta berbagai hal yang ditempeli atau dililit motif kendit menjadi lebih bernilai, juga menunjukkan bahwa kendit itu berharga walau hanya muncul dalam motif dan apapun mediumnya. Sebab apapun mediumnya, motif kendit bisa dinilai mewakili filosofi atau makna mendalam dari kendit itu sendiri sebagai perlambang doa atau harapan akan perlindungan dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Soal kendit di sini bertuah, di situ tidak bertuah, kembali ke kepercayaan masing-masing. Karena toh sulit dibuktikan juga.
Tapi yang jelas budaya Jawa menempatkan kendit atau motif kendit secara istimewa. Termasuk pada warangka keris dan pusaka lainnya. Bahkan kemudian ini menyebar ke daerah-daerah lainnya, dengan nama berbeda, kayu atau bahan berbeda, tapi dengan makna yang serupa.
Sebuah ikatan dan pelindungan yang dibendakan atau divisualusasikan dalam sebuah motif lilitan.