Salah satu kuliner yang terkenal adalah Soto Kudus, yang ada di Kota Kudus, Jawa Tengah. Soto ini sekilas mirip dengan soto-soto lainnya, kecuali dagingnya. Jika soto daerah lain memakai daging sapi, Soto Kudus memakai daging kerbau.
Pemakaian daging kerbau untuk Soto Kudus dan kuliner daging lainnya di Kudus ada sejarahnya. Ini terkait dengan dakwah Syech Jafar Sodiq alias Sunan Kudus di daerah itu di masa lampau.
Saat Sunan Kudus masuk ke sana, kawasan Kudus belum jadi kota dan masih berupa desa kecil di tepi sungai. Mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Kepercayaan Hindu cukup kuat di kawasan ini.
Sunan dan para pengikutnya yang beragama Islam adalah pendatang dan minoritas di sana. Sebagai pendatang dan minoritas, Sunan paham sekali dengan pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Kepada para pengikut atau santrinya, Sunan Kudus mengajarkan toleransi yang merupakan ajaran Islam. Salah satunya beliau menghimbau kepada pengikutnya agar tidak menyembelih dan memakan daging sapi. Ini untuk menghormati masyarakat mayoritas yang beragama Hindu. Di mana mereka meyakini sapi adalah binatang suci kendaraan dewata yang tidak boleh disembelih dan dimakan.
Meski Islam tak melarang memakan sapi, namun Sunan Kudus dan pengikutnya memilih tidak menyembelih dan memakan sapi. Sebagai gantinya menyembelih dan mamakan kerbau. Tak hanya untuk kebutuhab sehari-hari, saat Hari Raya Idul Adha pun, kurbannya menggunakan kerbau dan kambing, bukan sapi. Hal itu yang kemudian terbawa sampai kini. Kuliner di Kudus masih banyak yang memakai daging kerbau dan masih ada yang saat kurban menyembelih selain sapi.
Toleransi Sapi ala Sunan Kudus ini rupanya membuat banyak masyarakat sekitar merasa dihargai dan dihormati. Mereka pun akhirnya hormat dan kagum pada beliau. Bahkan kemudian berbondong-bondong masuk Islam, karena tersentuh dengan toleransi dan indahnya ajaran Islam lainnya yang beliau tunjukkan.
Apalagi di tangan Sunan Kudus dan pengikutnya daerah yang awalnya pedesaan itu tumbuh pesat menjadi kota perdagangan. Banyak pedagang mancanegara yang datang dan transit di kota itu. Ekonomi warga pun menjadi terangkat karenanya.
Selain Sapi, Sunan Kudus saat membangun masjid juga memakai arsitektur Hindu lokal. Terutama di bagian menara yang masih bisa dilihat sampai kini. Nama Kudus sendiri terkait dengan masjid ini.
Nama masjidnya adalah Al Quds (sekarang dikenal sebagai Masjid Menara Kudus). Ini karena di masjid itu ada batu yang dibawa Sunan Kudus dari Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa di Al Quds di Yerusalem sana. Oleh lidah lokal Jawa, Al Quds jadi Kudus.
Kisah Sunan Kudus ini penting diingat kembali karena belakangan ini banyak yang lupa apa itu toleransi. Baik yang mayoritas maupun minoritas.
Banyak yang lupa bahwa dakwah yang baik itu yang penuh hikmah dan teladan kebaikan, bukan konfrontasi. Di sini lain banyak pula yang lupa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.
Sunan Kudus tidak hanya mengajarkan kepada umat Islam bagaimana menjadi muslim yang baik dan bagaimana dakwah yang baik, dia juga mengajarkan bagaimana menjadi minoritas yang baik.
Semoga bisa jadi pelajaran bersama.