Suatu siang dari atas kereta api Argo Bromo Anggrek yang sedang membelah persawahan di bagian barat Pulau Jawa menuju Jakarta, saya menyimak perbincangan di group WA Komunitas Cinta Budaya (KCB). Siang itu sedang dibahas mengenai Pamor Tunggul Wulung.
Pak Bambang Sulawidjaja, pekeris senior dari Jawa Timur memaparkan bahwa Pamor Tunggul Wulung adalah motif pamor yang mirip gambar yang ada di Pusaka Kraton Yogyakarta berupa bendera atau panji yang bergelar Kanjeng Kiai Tunggul Wulung (lihat foto). Gambarnya seperti manusia ada kepala, dua tangan dan dua kaki.
Jika di keris ada pamor yang bentuknya seperti itu, maka itu adalah Pamor Tunggu Wulung. Pamor Tunggul Wulung ini idealnya muncul di bagian sor soran atau di blumbangan.
Menurut Pak Bambang, Pamor Tunggul Wulung ada yang tiban alias munculnya tidak disengaja atau tidak direncanakan (lihat foto),
ada pula yang rekan alias sengaja dimunculkan dengan teknik tambal (lihat foto).
Jadi Pamor Tunggul Wulung, lanjut Pak Bambang, tidak harus tiban, meski banyak yang bilang yang bagus adalah yang tiban. Malah bagi beliau, yang rekan lebih mirip gambar di KK Tunggul Wulung dari pada yang tiban yang seolah dimirip-miripkan saja.
Pekeris senior dari Jakrta Pak Jimmy S. Harianto kemudian juga membagi cerita bahwa baliau pernah punya keris dengan Pamor Tunggul Wulung (lihat foto).
Keris berdapur Jalak Nyucup Madu itu kemudian dimaharkan ke sahabatnya.
Suatu ketika, Pak Jimmy sering sakit. Lalu pekeris senior dari Solo, Pak Benny Hatmantoro bilang; “lho mas njenengan punya Tunggul Wulung kok sakit-sakitan?”
Hal itu kemudian membuat Pak Jimmy memburu kembali kerisnya. Namun sahabat yang dulu membeli enggan melepas kembali. Tapi Pak Jimmy terus membujuk dan pantang menyerah. Akhirnya setelah 11 tahun dari saat dijual, akhirnya sahabatnya luluh dan merelakan keris itu dibeli kembali.
Setelah mendapatkan kembali keris itu, Pak Jimmy mengaku jarang sakit-sakitan. Ini seolah mengkonfirmasi kepercayaan bahwa keris dengan Pamor Tunggul Wulung memiliki tuah atau berkhasiat untuk keselamatan, kesembuhan, dan tolak balak. Kepercayaan akan itu tersebut muncul karena pamor ini diadopsi dari gambar di KK Tunggul Wulung yang juga dipercaya memiliki tuah yang sama.
Panji KK Tunggul Wulung sendiri memang biasanya dikeluarkan dan diarak jika terjadi wabah penyakit di wilayah Kraton Yogyakarta dan daerah kekuasaannya. Panji ini diarak oleh Kaji Selusin alias 12 orang ulama yang telah naik haji yang dipercaya mengurus kebutuhan ibadah di Kraton.
Pak Jimmy pernah mengungkapkan, mengutip sumber Kraton, bahwa yang disebut KK Tunggul Wulung itu adalah benderanya saja. Sebelum diarak, bendera ini akan dipasang di tombak KK Duda yang ujungnya seperti tanduk rusa. Setelah terpasang, KK Tunggul Wulung dan KK Duda ini menjadi KK Slamet.
KK Slamet ini yang kemudian diarak keliling. Juga dilantunkan adzan di setiap perempatan yang ditemui.
Sejarah mencatat panji ini selalu diarak saat ada wabah di Yogyakarta. Misalnya tahun 1918 di era Sultan Hamengkubuwono IV, panji itu diarak untuk meredam bencana kekeringan dan wabah Flu Spanyol.
Pada tahun 1932 di era Sultan Hamengkubuwono VIII juga diarak untuk mengatasi wabah penyakit pes yang telah setahun melanda. Juga pernah keluar di era Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1946, dan konon juga di era Sultan Hamengkubuwono X pada tahun 1998, saat kerusuhan. Meski saat itu diarak secara diam-diam.
Tetapi saat terjadi Pandemi Covid-19, beberapa tahun lalu, pusaka tolak bala itu malah tidak diarak. Menurut Sultan Hamengkubuwono X, yang dikutip berbagai media, risiko yang dihadapi akan besar kalau sampai mengeluarkan pusaka tersebut.
Meski Sultan mempercayai pusaka itumasih mempunyai kekuatan untuk menghadapi virus Corona, tapi pandemi Covid-19 ini melanda seluruh dunia, sehingga kondisi saat ini dengan kondisi pada saat pusaka itu digunakan di masa lalu sudah sangat berbeda.
Sultan kemudian memilih menghimbau warganya menjalankan protokol kesehatan untuk melawan Covid. Menurut beliau hal itu lebih bagus dari pada mengeluarkan pusaka KK Tunggul Wulung yang berpotensi menimbulkan pro dan kontra yang hanya akan memperkeruh suasana.
Keputusan Sultan ini dinilai bijak. Sebab pro kontra diaraknya pusaka itu sebenarnya sudah kerap terjadi. Bahkan sudah ada sejak tahun 1930an. Ini karena kalangan Islam modern di Yogya yang resisten dan menilai praktek itu tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Kembali ke Pamor Tunggul Wulung, sebenarnya apa sih gambar yang ada di KK Tunggul Wulung dan diadopsi jadi pamor keris itu?
Untuk menjawab hal tersebut kita harus menelusuri asal usul pusaka ini. Dalam buku yang diterbitkan Kraton Yogyakarta yaitu “Kraton Jogja: Sejarah dan Warisan Budaya” (2008) hal. 149, disebutkan bahwa Panji Kanjeng Kiai Tunggul Wulung berasal dari kiswah Ka’bah di Mekah. Kain berwarna wulung(biru kehitaman) ini memiliki hiasan emas di tengahnya. Di dalam hiasan itu
terdapat tulisan ayat Al Quran yakni surat Al Kautsar, Asma’ul Husna, dan syahadat. (lihat detailnya di gambar).
Satu-satunya foto KK Tunggul Wulung yang beredar, baik di buku lain, media, maupun di internet, rupanya berasal dari foto yang ada buku itu. Lihat gambar foto di bawah.
Menurut Sultan Hamengkubuwono X awalnya potongan kiswah itu merupakan pemberian Sultan Turki (Kekhalifahan Turki Usmani/Ottoman) untuk Sultan Demak.
“Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (Sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki” ungkap Sultan dalam pidatonya di Konggres Umat Islam Indonesia ke-6 di Yogyakarta tahun 2015.
Guru saya Prof. Damardjati Supadjar yang pernah menjadi penasihat Sultan juga mengungkapkan bawa KK Tunggul Wulung merupakan putran atau duplikat kain kiswah yang asli. Yang mutrani adalah Sultan Hamengkubuwono I (lihat “Mawas Diri”, 2001 hal. 186).
Soal nama Tunggul Wulung, Pak Damardjati menjelaskan bahwa Tunggul itu bermakna pemimpin unggulan. Sementara Wulung bermakna kecenderungan bawaan yang tersembunyi.
Lalu gambar di tengah panji itu apa? Simbol manusia atau apa?
Itu adalah gambar pedang. Sebuah pedang yang sangat terkenal di dunia Islam yang bernama: Zulfiqar atau Dhulfaghar.
Zulfikar adalah pedang Nabi Muhammad SAW yang kemudian diberikan pada sahabat, yang juga menantunya yaitu Ali bin Abi Thalib RA. Banyak kisah keberanian dan kepahlawanan Ali bersama pedang bercabang itu yang tercatat indah dalam sejarah.
Salah satu yang terkenal adalah saat ads tantangan duel dari musuh dan tak ada satupun dari pasukan Muslim yang berani, justru Ali yang masih remaja berani maju dan berhasil mengalahkan lawan yang secara hitung-hitungan jauh lebih unggul.
Juga bagaimana Ali menjebol dan melempar sendiri pintu benteng Khaibar. Padahal sangat berat dan beberapa prajurit saja tidak kuat mengangkatnya walau beramai-ramai.
Itulah mengapa kemudian di dunia Islam pedang Zulfiqar sangat terkenal dan menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan perlindungan ilahi. Pedang ini kemudian digambar dengan stilisasi pedang dengan dua cabang dari pangkal. Walau wujud aslinya yang bercabang adalah bagian ujungnya.
Stilisasi Zulfikar ini kemudian banyak dipakai pasukan muslim. Misalnya oleh pasukan armada laut Turki Usmani yang dipimpin Laksamana Kahairuddin atau Hayreddin Barbarossa (lihat benderanya di gambar).
Armada laut kuat Laksamana Barbarossa cukup merepotkan dan membendung ekaspansi armada laut Eropa seperti Spanyol dan Portugis yang ingin menguasai dunia. Saking bencinya pada Barbarossa, karena sering mengalahkannya, bangsa Eropa kemudian membuat cerita miring dan hoax soal Barbarossa, yaitu Barbarossa sebagai kapten bajak laut yang kejam.
Di panji Barbarossa, stilisasi Zulfiqar dipasang di tengah panji, bersama dengan lambang Perisai atau Bintang Daud di bawahnya. Saat itu Bintang Daud juga banyak dipakai di dunia Islam dan belum diklaim eksklusif milik Yahudi atau Israel seperti saat ini.
Di Nusantara juga ada pasukan yang panjinya memakai simbol Zulfiqar yaitu Laskar Macan Ali dari Kesultanan Cirebon (lihat gambar).
Ada juga simbol ini di motif batik lama Cirebon (lihat gambar yang merupakan koleksi Pak Bambang).
Sebagai simbol kekuatan, keberanian, dan perlindungan ilahi, wajar saja stilisasi pedang sahabat Nabi ini ada di panji pasukan muslim seperti Turki Usmani dan Cirebon. Juga masuk akal saat Turki Usmani memberikan kiswah kepada Sultan Demak (versi lain menyebut pada Sultan Agung), potongan yang dipilih adalah yang ada simbol Zulfikarnya. Potongan yang kemudian jadi KK Tunggul Wulung.
Itulah evolusi sebuah pedang legendaris yang jadi simbol di panji, sampai kemudian jadi pamor keris.
Entah sejak kapan simbol stilisasi Zulfiqar mulai dikira simbol lain, bahkan ada yang mengira itu manusia. Yang kemudian juga bergeser tuahnya dari yang awalnya untuk simbol kekuatan, keberanian, dan perlindungan ilahi ini jadi untuk keselamatan, kesembuhan dan tolak balak.
Mungkin ini karena sebuah simbol itu tidak bisa berdiri sendiri. Dia tergantung pada siapa yang memaknai dan mempercayainya. Maka simbol yang sama bisa melahirkan makna dan kepercayaan yang berbeda. Serta sugesti yang berbeda juga tentu saja.
—
Tulisan ini telah dimuat di buku “Pamflet Kebudayaan 2024: Bunga Rampai Esai Budaya dan Katalog Keris” yang diterbitkan KCB.