Pada suatu waktu di lantai 3 Gedung PBNU.
Saya yang saat itu masih wartawan baru, cuma melipir dan ikut mendengarkan saja, saat wartawan-wartawan senior berbincang akrab dan santai dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.
Namun pada akhirnya semua akhirnya kebagian bicara. Termasuk saya. Karena belum kenal, dan masih baru, serta belum klik dengan isu-isu PBNU, saat itu saya bingung mau biacara apa dengan Pak Hasyim. Spontan saja saya tanya:
“Pak gak pulang ke Bangilan?”
Bangilan adalah nama Desa di Tuban, Jawa Timur, tempat Pak Hasyim dilahirkan, yang kebetulan kampung kelahiran saya juga.
Beliau saat itu kaget saat itu dan langsung menjawab:
“Kowe wong Bangilan to? Oalah ono wong Bangilan dadi wartawan (kamu orang Bangilan toh? Oalah ada orang Bangilan yang jadi wartawan)” kata Pak Hasyim dengan nada bercanda khas beliau.
“Yang jadi ketua umum PBNU saja ada pak,” balas saya, yang membuat tawa pecah di lantai 3 itu.
Mulai saat itu Pak Hasyim mulai mengenal saya. Kami makin arab. Saya mulai ikutan memanggil beliau “Abah”. Sedangkan Abah suka memanggil saya “Wong Bangilan”.
“Yan, Abah belum mau mulai kalau Wong Bangilan belum datang nih,” kata Mas Ahmad Millah, asisten media Abah, suatu waktu.
Ternyata Bu Hasyim, yang saya suka panggil Bu Nyai, juga ikutan manggil “Wong Bangilan”.
“Ndi Wong Bangilan? Bangilan sebelah ngendi kowe? Iki lo tak masakno masakan Bangilan. Ndang mangan. (Mana orang Bangilan? Kamu Bangilannya sebelah mana? Ini lo saya masakin masakan Bangilan. Sana makan)” kata beliau saat kami para “penyambung lidah Abah” main ke rumah beliau di Depok.
Pada waktu yang lain, masih di lantai 3 Gedung PBNU.
Abah duduk di ujung meja. Wartawan sudah siap merekam dan mencatat pernyataannya. Lalu Abah seperti biasa berdoa dulu sejenak sebelum berbicara. Soal retorika Abah jagonya, statemennya selalu tertata baik, runut, dan “ngeLead” kalau kata teman-teman wartawan.
Setelah selesai bicara, tiba-tiba ada serombongan wartawan yang telat datang dan ketinggalan statemen Abah. Lalu mereka ini ingin beliau mengulang pernyataannya, namun tidak berani.
“Mas bisa gak meminta Pak Hasyim mengulangi lagi,” pinta mereka kepada saya.
Lalu saya minta Mas Millah menyampaikan ke Abah. Eh, sialnya Mas Millah, Mas Sigit, dan wartawan senior lain malah bilang gini:
“Bah ulang bah, ini wong Bangilang yang minta” kata mereka sambil cekikikan.
“Piye to iki (gimana ini). Wong Bangilan emang telmi,” kata Abah dengan nada bercanda.
“Yang penting ada juga wong mBangilan yang pinter dan pernah bolak-balik ke Amerika, bah” balas saya.
Orang yang saya maksud itu adalah Abah, yang waktu itu baru kembali dari lawatannya ke Amerika Serikat. Maka pecahlah tawa di lantai 3.
Itulah cara kami berkumunikasi setiap bertemu dengan Abah. Penuh informasi dan pengetahuan, namun juga selalu ada canda di sana.
Pada waktu yang lain lagi, tapi kali ini di parkiran Gedung PBNU.
Saat hendak mengambil kendaraan, tiba-tiba ponsel saya berdering. Nama Abah muncul di layarnya.
“Omonganku tadi lumayan apa di bawah lumayan?” tanya beliau setelah teleponnya saya angkat.
“Wah itu sih di atas lumayan Bah,” jawab saya spontan.
“Mosok? Itu menurut kamu apa menurut yang lain juga?”
“Ya kan Abah nanya saya. Tapi sama lah bah kira-kira pendapat temen-temen”
Semua teman yang dekat dengan Abah dan jadi “penyambung lidah Abah” pasti sering ditanya hal serupa.
Inilah bedanya Pak Hasyim dengan tokoh lain. Biasanya narasumber selalu merasa statemennya bagus dan layak muat, dan tak jarang memaksa dimuat. Tapi kalau beliau, selalu bertanya apakah statemennya bagus atau tidak. Apakah kira-kira berguna bagi masyarakat atau tidak. Padahal siapa sih yang meragukan kualitas statement Pak Hasyim?
Itulah sedikit kenangan Wong Bangilan tentang
Wong Bangilan yang jadi tokoh dan guru bangsa, yang membanggakan tidak hanya bagi Wong Bangilan saja, tapi juga Indonesia dan dunia.