Keris Itu (Bukan) Senjata

Menyangkut soal keris, ada dua pendapat ekstrim yang sering mengemuka. Pendapat pertama menilai keris hanya sekadar senjata tajam, dan pendapat kedua yang menilai keris bukan senjata tapi sebuah obyek atau benda spiritual.

Pendapat pertama biasanya muncul di kalangan awam didasarkan wujud keris yang tidak dipungkiri memang merupakan senjata tusuk (dagger). Di komunitas bilah, belati, pedang, dan lain sebagainya, keris ini dipandang sama semata dengan senjata tajam tradisional Indonesia lainnya.

Bahkan sempat ada komentar begini: “ngapain sih beli keris (tua)? Dipakai nusuk kurang kuat, dipakai ngiris kurang tajem”

Mereka yang memegang pendapat pertama ini juga menilai filosofi dan unsur spiritual keris itu hanya sesuatu yang di ada-adakan saja. Itu tak lebih hanya otak atik gatuk orang Jawa pada senjata tajamnya.

Sementara pendapat kedua muncul di segaian kalangan orang keris. Kontras dengan pendapat pertama, mereka berpandangan keris ini bukan senjata sama sekali. 

Bahkan mengklaim keris diciptakan sejak mula buka sebagai senjata. Keris adalah benda spiritual semata.

Basis argumen pendapat ini biasanya adalah fakta bahwa keris merupakan pusaka dan bagian dari ritual spiritual. Simbol luhur seperti Lingga-Yoni pada keris juga simbol spiritual dalam pembuatan keris yang ada pada relief Candi Sukuh ditafsir sebagai legitimasi bahwa keris dibuat bukan sebagai senjata.

Maka dalam keris yang penuh simbol luhur sebagaimana simbol dalam agama-agama, akan terkotori jika difungsikan sebagai senjata yang dipakai untuk membunuh. Pendapat ini juga memperkuat argumen memakai UU Darurat No. 12 Tahun 1951 Pasal 2 yang katanya tidak perpendapat keris sebagai senjata.

Apakah benar demikian? Benarkah keris bukan senjata dan semata benda spiritual?Mari kita kupas satu per satu.

Kalau kita lihat fakta sejarah, maka akan banyak sekali sumber primer yang menunjukkan penggunaan keris sebagai senjata, senjata fungsional, dan alat untuk membunuh. Misalnya di Era Mataram, di mana keris era ini memiliki pengaruh besar pada keris saat ini, banyak sekali catatan soal keris yang digunakan untuk senjata dan sarana mengeksekusi.

Di buku-buku H.J. De Graaf, penulis dan peneliti Mataram terbaik, ada banyak sekali fakta tersebut. Misalnya ini: 

“Menurut berita-berita Madura Timur, dan juga berita-berita Belanda, Raja Sumenep memberikan perlawanan yang gagah berani terhadap Jawa Tengah. Setelah tertangkap, ia dibunuh dengan keris atas perintah Sultan Agung. Menurut cerita Banten, seorang Raja Sumenep telah datang ke sana beserta keluarga dan segenap abdi pelayan keraton untuk minta tolong, karena harus melarikan diri menghindari kepungan tentara Mataram. Dengan anggapan bawa Raja Madura Timur ini seorang keturunan dari keluarga Raja Demak, dapat dimengerti mengapa ia mengungsi ke Banten. Bukankah raja-raja Banten mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Tranggana? Tetapi karena takut pada Sultan Agung, Raja Banten itu telah menyerahkan para pengungsi itu kepada musuh. Sesampainya di Mataram mereka itu semua dibunuh dengan tikaman keris. Kejadian ini dikuatkan oleh berita-berita Belanda.” (De Graaf, 2019 hal. 299-300).

Juga laporan harian atau caratan pejabat VOC (Daghregister), 15 April 1663 (dikutip De Graaf, 2022 hal. 262) yang mengabadikan peristiwa di mana Sunan Amangkurat menghukum mati Ngabehi Martanata dengan 30 kali tusukan keris, lalu dipenggal. De Graaf mengutip Daghregister dan sumber lain juga menceritakan bagaimana di Era Mataram sejak Sultan Agung keris dipakai untuk membunuh atau mengeksekusi kawan dan lawan. 

Yang paling terkenal di antara kisah itu adalah eksekusi Raden Trunojoyo, pemimpin Madura yang sempat memberontak pada Mataram dan berhasil memporak porandakan istana. Setelah kalah dan ditangkap, Trunojoyo kemudian dihukum mati dengan ditusuk keris Kiai Balabar.

Sementara di Banten, Daghregister 15-16 Mei 1680 juga mencatat pembunuhan dengan keris:

“…Sultan muda (Haji), terus mengasingkan orang-orang kepercayaan ayahnya ke Lampung. Mereka adalah para pembesar seperti: Kiai Aria Suradimarta (Keey Aria Soeri de Marta), Kiai Ngabehi Hyangpati (Keey Nebey Janghpatty), Kiai Ngabehi Lodrantaka (Keey Nebey Lodra Antaca) dan Tumenggung Lodramanggala (Tommagon Lodra Mangala), dan Raja muda juga telah menyuruh orang untuk mengangkat keris untuk menusuk Kiai Aria Magunjaya yang telah tua dan Pangeran Lor, namun keduanya tetap memperlihatkan rasa hormatnya kepada ayahnya (Sultan Agung Tirtayasa)”

Terlalu banyak jika ditulis semua. Intinya sumber primer menunjukkan fakta sejarah bahwa keris digunakan sebagai senjata dan alat eksekusi.

Bahkan di Sumatra ada keris khusus yang dipakai untuk esksekusi yang dinamakan Salang. Salang dipakai untuk menyalang atau eksekusi dengan keris panjang yang ditusukkan dari sekitar bahu tembus ke jantung.

Catatan keris sebagai ruket untuk pertarungan jarak dekat juga kita bisa temui di sumber primer Zaman Majapahit yaitu “Kakawin Nagarakretagama” karya Empu Prapanca (1365 M). Pada Pupuh 54  yang menceritakan acara berburu Raja Majapahit tercatat keris digunakan sebagai senjata, bahkan untuk membuhuh binatang:

“Serbuan menyebabkan babi hutan, kijang hitam, dan cihna (atau sejenis kijang kecil) menjadi luar biasa takutnya, 

serta merta Sang Baginda dengan berkuda mengejar mereka yang tengah melarikan diri,

para menteri, pejabat tinggi, dan pujangga semua mereka yang menaiki kuda ikut memburu,

mati(lah) para binatang ditikam, ditombak, dibunuh, ditusuk dengan keris, tak dapat bernapas”

Catatan asing di Zaman Majapahit juga mencatat keris sebagai senjata. Ma Huan yang merupakan anggota ekspedisi dan penerjemah Laksamana Cheng Ho, dalam “Yingya Shenglan” yang terbit pada 1416 M, melihat pria di Majapahit membawa keris sebagai senjata yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Yang saat ada pertikaian akan dikeluarkan untuk saling menusuk.

Sumber sekunder seperti “Pararaton” (Abad 16) bahkan lebih spesifik menulis keris sebagai senjata. Bahkan keris Empu Gandring yang terkenal itu berasal dari sini.

Sebelumnya, yaitu pada Zaman Medang-Kahuripan yang dipimpin Prabu Airlangga (tahun 1019 – 1042 M) keris juga dipakai sebagai senjata. Ini tercatat dalam “Kakawin Arjunawiwaha” yang ditulis Empu Kanwa.

Filolog Mas Panji Topan memaparkan dengan baik hal tersebut sebagai berikut. 

“(1) Tertulis pada pustaka Arjunawiwaha (Ketika berkobar peperangan di gunung Sumeru):

“akwéh mati silih tkek pati ikaŋ patrem lawan kris pamek”

~ banyak [yang] mati, saling mencekik kematian, mengamuk dengan badik dan keris.”

Mas Panji Topan juga mengungkapkan bahwa penggunaan keris sebagai senjata ini sejalan dengan yang dituliskan di pustaka Sanghyang Tattwajnyana:

“salwir niŋ sañjāta, pinaka gaman-gaman ṣaŋ prabhu, kadyangganiŋ curiga malyala sangkara. salwirraning khaḍga, pinaka pangalap urip, rākṣasa pinaka déwanya”

~ Berbagai [jenis] senjata yang menjadi pegangan sang raja, seperti bermacam keris bercorak-indah. Berbagai macam pedang adalah pengambil nyawa, dengan raksasa sebagai dewanya.”

Juga di Sanghyang Siksa Kandang Karesian:

“gaŋgaman di saŋ prabu ma: pedaŋ, abet, pamuk, golok, péso tĕndĕt, keris; raksasa pinahka déwanya, ja paranti maéhan sagala.”

~ Senjata sang raja adalah: pedang, sabet, pamuk, golok, pisau, keris, raksasa adalah dewa-nya, untuk membunuh segala.”

Bahkan Budayawan dan Arkeolog yang juga mantan Dirjen Kebudayaan Prof. Edi Sedyawati dalam antologi tulisan “Keris Dalam Perspektif Keilmuan” (2011) hal. 29 mengungkapkan di tahun 827 Saka atau 905 M berdasarkan Prasasti Poh, keris adalah senjata. Kala itu keris menjadi salah satu dari kelengkapan ritual wilayah Sima.

Keris di dalam ritual ini, menurut Prof. Edi mewakili senjata fungsional bersama benda tajam lainnya yaitu alat-alat pertukangan dan pertanian. Penderetan keris di antara benda-benda fungsional itu menunjukkan bahwa keris pada waktu itu mempunyai kegunaan praktis dan belum bernuansa mistik dan dianggap sebagai pusaka seperti di masa kemudian.

Hal yang sama juga diungkapkan peneliti keris saat meneliti asal usul keris. Misanya Garrett and Bronwen Solyom dalam “The World of The Javanese Keris” (1988) dan Karsten Sejr Jensen dalam “KrisDisk: Krisses from Indonesia, Malaysia and the Philippines” (2007) yang menjelaskan keris yang merupakan evolusi dari senjata tikam (dagger) yang kemudian memiliki makna spiritual.

Jadi fungsi keris sebagai senjata itu tidak bisa bisa dipungkiri sama sekali. Maka adalah ahistoris dan tidak berdasar jika menyatakan keris bukan senjata sama sekali.

Pembacaan (baca: salah satu tafsir) atas relief Candi Sukuh (Abad ke-15) sebagai legitimasi unsur spiritual keris, tidak serta merta membuat fungsinya sebagai senjata ternegasikan. Apalagi belum pernah ada pendapat arkeolog dan sejarawan yang menyimpulkan dari relief itu menunjukkan bahwa keris bukan senjata sama sekali. 

Juga terbantahkan oleh sumber primer Majapahit yang lebih tua sebagaimana telah di paparkan di atas, bahwa keris dipakai sebagai senjata. Bahkan untuk membunuh binatang.

Selain itu, ada relief yang lebih tua yaitu relief Candi Penataran (Abad ke-13) yang menunjukkan keris dipakai sebagai senjata tusuk. Relief pada candi yang dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri (1200 M) ini, juga dipakai jadi ilustrasi di proposal pengajuan keris sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO. 

Lalu bagaimana dengan keris yang kemudian dalam perkembangannya hanya menjadi benda spiritual? Itu biasa terjadi pada benda lainnya.

Kerajaan di Nusantara terutama Kraton di Jawa banyak mempusakakan atau menjadikan benda spiritual atas barang yang awalnya hanya senjata biasa. Misal senapan, meriam, dan alat perang lainnya, bahkan pelana kuda, yang awalnya dibuat sebagai benda atau senjata fungsional semata. Karena berjasa dan bersejarah lalu dipusakakan dan digelari Kiai atau Kanjeng Kiai.

Misal gamelan yang awalnya dibuat sebagai alat musik lalu setelah bersejarah dipusakakan dan dirituali. Saat gamelan jadi obyek spiritual, lalu apa lantas kita menafikan fungsi awalnya sebagai alat musik? Demikian pula kereta raja yang jadi pusaka Kanjeng Kiai, dan jadi obyek spiritual. Benda ini walnya dibuat di Eropa, di pabrik kendaraan biasa, dan dianggap sebagai alat transportasi biasa.

Keris pun misal awalnya dibuat dengan ritual dan makna spiritual, serta simbol filosofi tertentu, itu tidak serta merta menegasikan fungsinya sebagai senjata. Ritual yang sama juga dilakukan pada senjata tajam selain keris di Jawa dan di Wilayah Nusantara lainnya.

Lalu bagaimana dengan UU Daturat Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 2 yang diklaim sebagai pengakuan keris bukan senjata?

Itu klaim salah tafsir. Sebab di Pasal 2 ayat 2 UU tersebut justru keris masuk sebagai senjata, tadi senjata yang dikecualikan. Bersamaan dengan senjata lain yang di zaman modern ini sudah tidak difungsikan sebagai senjata melainkan barang antik, barang kuno, atau barang ajaib. Itu jelas tertulis di sana. 

Bahkan dalam penerapannya, aparat masih menangkap orang yang membawa keris baru yang masih tajam. Dengan tafsir yang masih baru dan tajam masih dipakai menysuk dan di pasal 2 ayat 2 itu klausulnya jika tidak dapat dipakai. Ini sempat ramai beberapa tahun lalu. 

Tentu saja aturan ini, atau aturan pengecualian keris dalam UU ini, tidak dapat jadi legitimasi bahwa keris bukan senjata sama sekali, atau pada mulanya bukan senjata. Ini seperti senapan kuno yang saat kita kuasai tidak akan dikenakan sanksi sebagaimana mengusai senapan api modern.

Jadi soal dua pendapat soal keris ini saya menghargai semua. Saya sendiri mengikuti pendapat yang mana?

Saya setuju dan mengikuti pendapat para senior perkerisan yang kemudian menjadi definisi keris di UNESCO yaitu: 

“The kris or keris is a distinctive, asymmetrical dagger from Indonesia. Both weapon and spiritual object, the kris is considered to possess magical powers. 

Kris atau keris adalah senjata tikam asimetris yang khas dari Indonesia. Merupakan senjata sekaligus benda/obyek spiritual, keris dianggap mempunyai kekuatan magis.”

Inilah definisi terbaik dan merupakan jalan tengah, juga fakta bahwa keris itu “both weapon and spiritual object”, ya senjata ya obyek spiritual. Jangan dipaksa harus mengakui salah satu aspek saja, senjata saja atau obyek spiritual saja. Seperti judul tulisan ini bisa dibaca: Keris Itu Senjata atau Keris Itu Bukan Senjata.

Jika kita hanya mau mengakui salah satu sisi keris itu sama saja mengikuti logika biner khas Barat: jika A maka bukan B, jika B maka bukan A, atau A tidak boleh sama atau harus berlawanan dengan B. Sementara di Timur ada logika holistik (yang belakangan diakui dan diikuti Barat) yang mengakomodasi A sama dengan B, ada A dalam B, atau B dalam A, atau A sekaligus B.

Maka bagi saya keris itu senjata sekaligus obyek spiritual. Jadi definisi UNESCO itu sudah tepat sekali.

Tapi di sini saya tidak hendak menyalahkan yang masih berfikir berbeda. Bebas saja, namanya juga keyakinan. Ini hanya membantu meramaikan perdebatan lama yang mengemuka kembali belakangan ini. 

Foto: Ilustrasi Relief Candi Sukuh dan Candi Penataran di Proposan Keris ke UNESCO

Leave a Reply

Your email address will not be published.